murakami okSaya selalu bertanya-tanya, apa yang membuat sebuah buku bisa begitu terkenal? Saya tahu, ini tak selalu berkaitan dengan bagusnya naskah tersebut. Beberapa buku pemenang sayembara sastra, atau bahkan pemenang nobel sastra, jarang yang bisa sampai puncak penjualan. Tapi naskah-naskah yang malah jarang dibicarakan dalam khasanah sastra, kadang malah mencetak penjualan tertinggi. Saya pikir marketing memang berperan penting untuk ini, dan satu lagi, yang mungkin kerap dilupakan: keberuntungan.

Dan anehnya, setiap membaca novel-novel Haruki Murakami (Murakami), pertanyaan di awal tulisan ini kembali mengganggu saya. Murakami adalah novelis asal Jepang yang kini sedang naik daun di beberapa negara termasuk Indonesia. Sebagai kilas balik saja, novel Norwegian Wood (NW) yang saya beli sebelum novel itu di-republish dengan cover baru oleh KPG, merupakan cetakan kelima (November 2009). Novel-novel Murakami memang laris manis. Sudah terjual jutaan copy dan diterjemahkan ke dalam 50 bahasa lebih. Ia bahkan sempat menjadi nominasi nobel sastra di tahun 2013, namun kalah oleh penulis China, Mo Yan.
Mengamati sosial media, saya merasa banyak sekali kawan-kawan penulis yang membaca Murakami. Ini bisa dilihat saat mereka kerap menulis quotes milik Murakami. Tapi saya tak pernah, atau jarang, melihat quotes milik Mo Yan.

Saya sendiri mulai mengenal Murakami saat membeli bukunya Dengarlah Nyanyian Angin (DNA) karena telah diobral seharga 5.000 rupiah. Tapi sampai lama buku itu tak terbaca. Bahkan sebelum terbaca saya membeli Norwegian Wood (NW) hanya gara-gara novel itu didiscount 40%.


Saya membeli novel-novel Murakami karena sejak dulu saya memang suka membaca tulisan bersetting Jepang. Terutama kisah-kisah Jepang klasik. Dulu, saya bahkan pernah menulis novel bertema Jepang dengan nama samaran Hikozza. Tapi saya kurang tertarik dengan cerita-cerita Jepang berseting modern. Dan gawatnya yang ditulis Murakami selalu seperti itu.

Saya mulai membaca DNA setelah menyelesaikan novel-bnovel sastra yang cukup tipis seperti Oeroeg, dan Chas dalam waktu berdekatan. Tapi jujur saja, saya sama sekali tak terkesan dengan novel ini. Saya bahkan sampai merasa tak lagi bisa menceritakan ulang karena biasanya novel ini. Saat saya membaca NW perasaan saya hampir sama. Saya tersendat sampai 2 kali. Tapi beberapa kawan memberi motivasi untuk menyelesaikan novel itu, kata mereka novel itu cukup panas. Dan saya pun terpengaruh untuk menyelesaikan. 🙂

Berbeda dengan DNA, aaya suka dengan NW. Novel ini ditulis dengan lancar, lincah dan memikat. Tak butuh lama menyelesaikannya. Namun tetap saja saya merasa novel ini tak sekelas novel Big Brast Wide Hips milik Mo Yan yang sebelumnya saya baca.
Akibat perasaan ini saya kemudian mengirim pesan ke kawan saya menanyakan sebenarnya siapa penulis Indonesia yang pertama kali membawa nama Murakami ke kancah sastra Indonesia? Saya sekedar ingin tahu. Karena saya ingat ucapan Mas Hairus Salim dalam diskusi Penerjemahan Sastra beberapa bulan lalu di Solo, ia bilang dulu munculnya nama sastrawan luar itu di Indonesia selalu ada pengaruhnya dari sastrawan Indonesia yang membacanya pertama kali dan mempromosikannya.

Saya mungkin sedikit apriori terhadap Murakami. Namun Diskusi Terbuka Haruki Murakami yang diadakan Pawon membuat saya kembali membaca novel-novel Murakami selanjutnya. Yang saya baca selanjutnya adalah Kafka on The Shore (KOTS). Berbeda dengan novel-novel lainnya yang diterbitkan KPG, novel Murakami yang ini diterbitkan Alvabet. Dan selesai membacanya, saya harus angkat topi buat Mtrakami.
Sampai saya membaca 1Q84, saya tetap merasa KOTS adalah novel terbaik Murakami yang sudah diterjemahkan dalam Bahasa Indoenesia. Tentu ini soal selera. Tapi saya merasa KOTS merupakan novel paling kuat. Ia seperti mampu menggabungkan beberapa genre sekaligus. Kisah tentang Kafka Kimura dan Satoru Nakata bergantian menjalin kisah yang pada akhirnya merupakan sebuah kisah yang berhubungan. Kafka yang minggat dari rumah karena begitu membenci ayahnya. Ia kemudian bertemu dengan Nona Saeki yang dalam teorinya merupakan ibunya yang pergi selagi ia kecil. Kedekatan keduanya dimulai dengan pertemuan hantu Nona Saeki, atau bayangan, yang ditemui Kafka dalam bilik kamar di Perpustakaan Kimura. Mereka sempat bercinta, dan ini yang kemudian yang membuat Kafka berani meminta Nona Saeki bercinta dengannya. Kisah Nakata juga tak kalah unik. Ia orang yang sadar bila tak pandai. Ini disebabkan kisah lama saat ia tiba-tiba tak sadarkan diri selama 3 minggu. Namun walau tak pandai, ia kini punya kelebihan bicara dengan kucing. Lalu karena membunuh seseorang, ia harus melarikan diri. Di sinilah seorang sopir Hashino menolongnya. Namun ternyata Nakata bukannya melarikan diri, ia merasa harus melakukan beberapa hal yang tak dipahami Hashino.
Kisah ini dipenuhi hal-hal yang tak masuk akal. Lintah dan ikan yang jatuh dari langit, mucikari bergaya Kolonel Sander yang bisa tiba-tiba muncul, juga batu ajaib yang bisa diajak bicara. Murakami seperti membentuk dunianya sendiri. Tapi saya pikir itulah kelebihan Murakami yang tak ada pada DNA dan NW.

Karena pada 1Q84, Murakami juga menciptakan dunianya sendiri tanpa perlu menjelaskannya pada pembaca. Ia menciptakan orang-orang kecil dan dua bulan di antara kisah Aomame dan Tengo. Kisah keduanya juga menarik dan sangat detail. Aomame yang menjalani kehidupan tersembunyi sebagai pembunuh pada akhirnya terbawa pada pusaran kisah besar yang tak pernah dibayangkan sebelumnya. Ini sama yang dialami oleh Tengo. Ia yang awalnya merupakan penulis yang belum berhasil dan diminta oleh editornya untuk menulis ulang sebuah novel milik gadis remaja yang mengalami disleksia, Fuka-eri, ternyata juga terbawa ke dalam pusaran yang sama.

Tulisan ini tentu saya batasi dengan novel-novel Murakami yang sudah terbit dalam Bahasa Indonesia. Dari keempatnya itu, saya merasa Murakami punya kelebihan untuk meninggalkan beberapa kebiasaan. Dalam salah satu wawancara Murakami yang saya tonton di Youtube, Murakami mengatakan ia terpengaruh oleh 3 hal besar: musik, buku dan kucing. Tapi saya merasa ia melupakan satu lainnya. Saya pikir ia selalu tak pernah lupa melukiskan kematian pada karakter-karakter penting di novelnya. Dan cara kematiannya pun tak biasa, seakan Murakami terus mencoba mencari sesuatu yang beda. Kematian Nezumi dan Naoko, kematian Nona Saeki, kematian Nakata, terasa berbeda satu dengan yang lainnya.

Saya juga menemukan kesamaan karakter tokoh-tokoh utamanya. Tokoh Aku, Toru Watanabe, Kafka Temura dan Tengo nampak memiliki kesamaan di satu sisi. Mereka orang-orang yang pada dasarnya baik, banyak membaca buku dan mengerti musik, tak berambisi, dan hidup dengan mengalir. Satu lagi beberapanya suka dimasturbasi oleh pacar atau kawan perempuannya… 
Ok, jadi saya akan menunggu kembali novel Murakami selanjutnya.

***