Cari

Yudhi Herwibowo

mencoba terus menulis…

bulan

Mei 2016

Kitab Ular, Cerpen Saya di Suara Merdeka 8 Mei 2016

IMG_20160508_184300

Tautan KLIPING SASTRA INDONESIA

http://id.klipingsastra.com/2016/05/kitab-ular.html

Membaca Novel Lawas Widyawati – Arti Purbani

IMG_20160508_075542

Sekali lagi terbukti: saya pembaca yang harus dipaksa! Karena akan didiskusikan Pawon, saya menyelesaikannya novel Widyawati karangan Arti Purbani ini hanya dalam 2 hari.

Diskusi buku kali ini memang sedikit berbeda, bukan sekadar memilih novel lawas seperti usulan dari Kabut, namun penulisnya -Arti Purbani- adalah nama pena dari Partini Djajadiningrat, putri sulung Mangkunegaran VII.

Awalnya membayangkan membaca Widyawati, saya akan mendapati cerita yang mirip-mirip dengan novel Student Hidjo (Marco) ataupun Generasi yang Hilang (Suparto Brata), yang pernah didiskusikan Pawon sebelumnya. Kebetulan latar novel ini hampir-hampir sama. Tapi ternyata, Widyawati punya perbedaan yang kuat.

Saat pada akhirnya menyelesaikannya, satu kesan yang saya tangkap: Widyawati adalah novel yang komplet. Diawali dengan memunculkan 4 karakter perempuan: Sumirah, Roosmiati, Widyawati (Widati) dan Ruwinah, saya langsung meraba kalau keempat tokoh inilah yang akan mengisi halaman-halaman buku selanjutnya. Bahkan saya merasa konflik yang sudah dirancang. terasa sekali di bagian itu. Namun pada kenyataannya, dari keempat karakter itu, hanya katater Widati-lah yang paling intens diceritakan, sedang karater lainnya pelan-pelan hanya menjadi karakter-karakter pendukung yang tak cukup banyak diceritakan. Karakter Sumirah bahkan hanya ditulis sedikit sekali. Lanjutkan membaca “Membaca Novel Lawas Widyawati – Arti Purbani”

Kelambu, cerpen saya di Tribun Jabar 1 Mei 2016

kelambu_20160430_210936

Hari masih bercahaya, tapi kegelapan seperti telah menelanku dalam kepekatannya. Ruangan ini tiba-tiba terasa begitu sesak. Udara seakan menjauh dari diriku. Membuat napasku tersendat.

Sambil meringkuk di lantai, aku bagai menjadi sosok yang tak lagi berarti. Sangat sesuai dengan apa yang kubayangkan selama ini: aku bagai burung yang tak lagi bersayap, karena sayapku telah kupatahkan sejak dulu.

Sialnya, seperti yang sudah-sudah, keheningan selalu membuatku semakin terjerumus dalam ketakutan. Ia bagai mengulik lubang telingaku dan menggemakan ngiang yang terus berulang, bagai bisikan iblis yang tak pernah berhenti.

Kau akan pulang kan?

Pulang? Aku memejamkan mata kuat-kuat. Kata itu seharusnya sudah kucoret dari kamus hidupku. Tapi semakin aku ingin melupakannya, entah kenapa, kata itu semakin kuatnya merasuk.

Tubuhku tiba-tiba menggigil dengan hebat. Tanpa bisa kuelak, aku mulai terseguk. Suamiku yang sejak tadi duduk di ruang tengah, seakan sengaja memberi waktu untukku sendiri, mulai mendekat. Ia membelai rambutku dengan lembut. Lalu mulai menggendong tubuhku ke arah pembaringan. “Kalau kau tak ingin pulang, tak apa-apa,”  bisiknya. Lanjutkan membaca “Kelambu, cerpen saya di Tribun Jabar 1 Mei 2016”

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑