225px-RobandfabSewaktu saya mengupload video Rob & Fab di instagram, seorang kawan mengomentari, “Itulah, satu kesalahan yang menghancurkan seseorang. Padahal sekarang banyak ada orang yang melakukan kesalahan, tapi dengan cepat kita melupakannya…”

Buat kawan-kawan yang tak tahu, Rob & Fab adalah nama dari Rob Pilatus dan Fab Morvan yang dulu dikenal sebagai duo Milli Vanilli. Mereka begitu hits di tahun 90-an. Saya masih SMP kala itu, dan kawan-kawan saya begitu tergila-gila dengan mereka. Lagu mereka Blame it on the Rain terus diputar di bemo-bemo, dan lagu Girl I’m Gonna Miss You terus disenandungkan. Itulah awal pertama kali saya membeli kaset dengan uang jajan saya sendiri.

Sayangnya masa kebesaran mereka harus hancur gara-gara mereka diketahui melakukan lypsync. Sebenarnya produser merekalah yang merancang semua kebohongan ini. Gara-garanya Rob & Fab ngotot untuk merekam sendiri suaranya di album berikutnya. Produser keparat itu kemudian memilih mengungkapkan kebohongan ini.

Setelah kejadian itu Rob & Fan berusaha bangkit. Mereka merilis single We Can Get it On, disusul sebuah album. Tapi rupanya upaya mereka tak lagi bisa mengangkat nama mereka. Saya kemudian merasa kesalahan yang pernah dilakukan Rob & Fab merupakan kesalahan yang tak termaafkan.

Di dunia menulis keadaan yang dialami Rob & Fan banyak terjadi. Hamka dianggap melakukan kesalahan setelah novelnya Tenggelamnya Kapal Van de Wijk disinyalir merupakan karya plagiat. Chairil pun melakukan kesalahan dengan menjiplak beberapa puisi orang lain, terutama untuk puisi legendarisnya Kerawang-Bekasi. Di era sekarang, beberapa cerpenis juga pernah melakukan kesalahan seperti itu. Mereka memlagiat cerpen-cerpen penulis yang sudah ada sebelumnya. Beberapanya bahkan melakukan tak hanya sekali saja. Kemarahan orang-orang saat kasus terjadi, kadang begitu heboh. Di facebook komennya bisa mencapai ratusan. Bahkan tak jarang diiringi beberapa kalimat kasar.

Tapi beberapa minggu kemudian, kehebohan itu redup. Orang-orang dengan mudah melupakannya. Bahkan media yang dulu diplagiat pun dengan enteng memuat karya penulis itu lagi, dan penulis itu –setelah beberapa bulan tak kelihatan– akan kembali muncul tanpa mengingat kejadian itu.

Sejak dulu, saya tak pernah ikut-ikutan soal ini. Bahkan menanggapi sekali pun tak pernah. Tapi ada satu cerita yang mungkin sedikit berbeda. Karena tak semua penulis yang melakukan kesalahan seperti itu, dapat melupakannya.

Seorang kawan penulis pernah dianggap memlagiat tulisan penulis lain dalam sebuah lomba, sebelum ia sadar tentang plagiatisme. Saya sendiri saat membacanya masih bingung apakah itu plagiat atau menceritakan ulang. Tapi kawan saya memutuskan mengaku salah. Ia kemudian memutuskan menepi dari dunia menulis. Ia tak lagi berkumpul dan tak lagi datang di acara-acara sastra yang dulu sering didatanginya. Jujur saja, saya sedih karenanya. Kenapa ia tak bisa bersikap seperti kawan-kawan penulis lain: menghilang sejenak, lalu muncul lagi di waktu semua orang tak lagi mengingat-ingatnya?

Saya hitung-hitung ini sudah tahun kelima ia menepi. Dan beberapa bulan lau, saya masih bertemu dengannya. Saya tahu ia masih menulis, walau tak lagi menulis sastra. Saat saya mengundangnya datang di acara sastra, ia hanya tersenyum pahit. Saya tahu, ia masih memilih mengingat kesalahannya sampai sekarang.

Saya pikir, orang-orang seperti kawan saya inilah yang seharusnya dimaafkan secara tulus dan diberi kesempatan kedua. []