Beberapa tahun lalu, dalam sebuah acara sastra di Solo, ada seorang peserta bertanya pada saya, siapa penulis muda yang menurut saya akan muncul di dunia sastra di Indonesia? Waktu itu keadaan sastra Indonesia masih berbeda dengan sekarang. Koran-koran masih cenderung memuat penulis bernama besar, jadi saya merasa pertanyaan itu sangat visioner. Waktu itu saya menjawab dua nama yang saya kira akan tampil. Salah satunya: Benny Arnas (BA). Saya pikir, kumcer Bulan Celurit Api (BCA) akan menjadi salah satu kumcer yang terus dikenang.
Saya sama sekali tak pernah menyangka, di Ubud Writers and Readers Festival 2010, saya bertemu langsung dengannya. Sejak itulah, saya lebih mengikuti tulisan-tulisannya. Saya membaca cerpen-cerpennya di koran dan membeli buku-buku barunya. Ini menjadi penting, karena dari belasan penulis UWRF di angkatan kami, hanya tersisa beberapa gelintir saja yang masih terus aktif menulis. Sehingga tulisan kawan-kawan itu di media, seperti jadi pelipur kangen buat saya pada mereka. Apalagi terhadap BA. Saya merasa berhutang besar padanya. Gara-gara dia jugalah, saya bisa diundang ke Wordstorm Festival di Darwin tahun 2012. Tapi tentu itu bukan hal penting yang perlu dibahas di sini… 🙂
Dua hari yang lalu saya mendengar buku Cinta Tak Pernah Tua (Cinta), masuk dalam 10 besar Khatulistiwa Award. Saya tiba-tiba merasa harus menulis tentang ini, karena sekian tahun berteman, saya tak pernah sekali pun menulis tentang bukunya. Ini tentu -kalau terus dilanjutkan- bisa menjadi sebuah dosa besar yang tak termaafkan. Lanjutkan membaca “Cinta Tak Pernah Sederhana di Cinta Tak Pernah Tua”
Komentar Terbaru