Cari

Yudhi Herwibowo

mencoba terus menulis…

bulan

September 2015

Cinta Tak Pernah Sederhana di Cinta Tak Pernah Tua

IMG20150911001113Beberapa tahun lalu, dalam sebuah acara sastra di Solo, ada seorang peserta bertanya pada saya, siapa penulis muda yang menurut saya akan muncul di dunia sastra di Indonesia? Waktu itu keadaan sastra Indonesia masih berbeda dengan sekarang. Koran-koran masih cenderung memuat penulis bernama besar, jadi saya merasa pertanyaan itu sangat visioner. Waktu itu saya menjawab dua nama yang saya kira akan tampil. Salah satunya: Benny Arnas (BA). Saya pikir, kumcer Bulan Celurit Api (BCA) akan menjadi salah satu kumcer yang terus dikenang.

Saya sama sekali tak pernah menyangka, di Ubud Writers and Readers Festival 2010, saya bertemu langsung dengannya. Sejak itulah, saya lebih mengikuti tulisan-tulisannya. Saya membaca cerpen-cerpennya di koran dan membeli buku-buku barunya. Ini menjadi penting, karena dari belasan penulis UWRF di angkatan kami, hanya tersisa beberapa gelintir saja yang masih terus aktif menulis. Sehingga tulisan kawan-kawan itu di media, seperti jadi pelipur kangen buat saya pada mereka. Apalagi terhadap BA. Saya merasa berhutang besar padanya. Gara-gara dia jugalah, saya bisa diundang ke Wordstorm Festival di Darwin tahun 2012. Tapi tentu itu bukan hal penting yang perlu dibahas di sini… 🙂

Dua hari yang lalu saya mendengar buku Cinta Tak Pernah Tua (Cinta), masuk dalam 10 besar Khatulistiwa Award. Saya tiba-tiba merasa harus menulis tentang ini, karena sekian tahun berteman, saya tak pernah sekali pun menulis tentang bukunya. Ini tentu -kalau terus dilanjutkan- bisa menjadi sebuah dosa besar yang tak termaafkan. Lanjutkan membaca “Cinta Tak Pernah Sederhana di Cinta Tak Pernah Tua”

Daftar Panjang Unsur-unsur Kegelapan dalam Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang

CMcb5eXUAAAc3aR.jpg largeKisah misteri selalu punya pembaca sendiri. Dari yang kadarnya ringan seperti kisah thriller pembunuhan sampai pada kisah hantu-hantu pencabut nyawa, bagi saya pribad semuanya menarik. Mungkin karena saya sendiri tumbuh dengan bacaan-bacaan Alfred Hitchcock yang menegangkan. Tak hanya itu, kesukaan saya pada cerita misteri sampai pada film-film Indonesia yang dulu sering diputar di TPI tempo doeloe. Tentu yang ini kadarnya lebih berat. Horor.

Menariknya sekarang, dalam dunia cerpen yang beredar di koran, cerita-cerita misteri (dan horor tentunya)  memiliki tempat sendiri. Kalau rajin mengamati cerpen-cerpen di koran, cerita misteri selalu rajin menghampiri pembaca-pembacanya. Tentu dalam kadar yang berbeda-beda. Pihak penerbit pun rasanya, tak ragu menerbitkan kumpulan cerpen seperti itu. Bahkan di akhir tahun 2014 sampai tahun 2015 ini, cerita misteri merajai penerbitan buku-buku remaja.

Namun, bukan perkara mudah menulis cerpen beraroma misteri, apalagi horor. Mungkin seorang penulis bisa sesekali menulis cerita seperti itu, namun tak banyak yang sampai menulisnya berkali-kali.

Beberapa buku yang saya ingat mengetengahkan tema itu, tentu Sihir Perempuan milik Intan Paramadhita dan Kumpulan Budak Setan kumcer keroyokan dari Eka Kurniawan, Intan Paramadhita dan Ugoran Prasad. Saya suka kedua buku ini. Sepertinya setelah era Abdullah Harahap yang sering menulis cerita misteri horor dengan kadar hardcore, saya pikir Intan Paramadhita punya aura sendiri sebagai penulis horor yang kuat.

Tahun ini, Guntur Alam (GA) mencoba mengumpulkan cerpen-cerpen misterinya dalam kumcer Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang (Magi Perempuan) Di status-status promonya yang begitu gencar, ia lebih suka menyebut bukunya ini kumcer gothik, bukan misteri atau horor. Tentu ini sah-sah saja, walau definisi gothik sendiri masih begitu rancu, sebutan misteri dan horor sendiri memang sudah terasa jadul dan sangat biasa. Covernya pun dipilih berwarna putih, seakan mencoba menghaluskan kekelaman tema horor yang sudah dikenali masyarakat. Atau, saya mengira, GA memang sengaja memberi penanda kalau cerpen-cerpennya memang belum diposisikannya sebagai cerita-cerita misteri atau pun horor layaknya Abdullah Harahap. Lanjutkan membaca “Daftar Panjang Unsur-unsur Kegelapan dalam Magi Perempuan dan Malam Kunang-kunang”

Novel Selanjutnya: Cameo Revenge

cameo-rev-01

#Cameo

Semua berlangsung begitu cepat dan tak terbayangkan. Dari semula hanya sekadar ingin mengikuti festival musik July Challenge untuk mendapatkan hadiah 100 juta, Angin Malam, Aui, Q dan Jarra tak pernah menyangka bila lagu yang mereka bawakan July Lullaby begitu meledak. Semua orang kemudian menyanyikannya, media begitu mengeksposnya. Namun saat media mulai mengulik masa lalu mereka, Angin, Aui dan Q mulai mencoba menghindar. Ini membuat Jarra yang begitu menikmati kesuksesan ini, merasa curiga. Manager ambisius Bara Atmaja yang sedang mendekatinya, kemudian mencoba mencari tahu apa sebenarnya yang ada di balik itu semua. Dan yang didapatkannya adalah sesuatu yang tak pernah dibayangkan: berita tentang pecandu cilik yang nyaris mati, foto-foto telanjang yang tersebar di internet dan kasus pembunuhan beberapa tahun lalu. Ini benar-benar mengerikan. Sesuatu yang dapat menghancurkan band yang baru berusia seumur jagung itu!

#Revenge

Bagi Saira, sang vokali Revenge, apa yang terjadi malam itu cukup untuk mengempaskannya di palung kekecewaannya. Sia-sia sudah perjuangan yang selama ini diperjuangkan demi memenangkan July Challenge, festival musik paling bergengsi di Kota Cahaya. Sedih, marah, perasaan gagal, dan entah apa lagi. Rasanya hancur berantakan bagaikan rangkaian keping puzzle yang jatuh berhamburan. Perlu waktu menyatukan kepingan-kepingan itu menadi utuh kembali. Ada saat itulah ia merasa harus memilih. Antara tetap berada di band rock kedua di Kota Cahaya, atau menjadi seperti mimpi-mimpinya: be the real rock star.

***

Ini merupakan novel duet saya bareng Ary Yulistiana. Ia teman lama yang dulu pernah aktif di Buletin Sastra Pawon. Kini ia sudah menjadi guru, namun terus mencoba produktif menulis. Novel-novelnya 100th Dragonfly, Mauve!, Sonnenblume, dll. Lanjutkan membaca “Novel Selanjutnya: Cameo Revenge”

Rutinitas Hari Minggu: Membeli Koran

Ini hanya tulisan ringan saja…

Tumpukan-KoranHampir sebulan ini saya malas membaca cerpen, namun seperti sudah menjadi kebiasaan, saya tetap keluar rumah dan membeli koran. Sejak bertahun-rtahun lalu kebiasaan membeli koran memang sudah saya lakoni. Bahkan dulu saya menglipingnya.

Dulu, sewaktu Buletin Sastra Pawon masih di masa awal, di Rumah Sastra, Joksum koordinator waktu itu selalu membeli beberapa koran. Jadi saya selalu mampir di hari itu untuk mengetahui siapa yang dimuat minggu itu atau.
Kebiasaan itu terus berlangsung. Saat mulai menulis cerpen di koran, saya sempat berlangganan beberapa koran. Namun lama-lama saya malas membaca berita yang teratur. Saya pikir saya lebih suka membaca koran Minggu. Jadi saya putuskan hanya membeli koran di hari Minggu saja. Bila sedang semangat saya bisa membeli 5-7 koran sekaligus. Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, Media Indonesia, Kedaulatan Rakyat, dan Solopos. Bila lagi bokek, saya hanya akan membeli 3 saja.

Saya tahun tak setiap Minggu cerpen saya dimuat, tapi membaca cerpen-cerpen di hari Minggu seperti punya kesenangan sendiri. Saya tahu, sekarang ini semua bisa di akses melalui internet. Di grup Sastra Minggu banyak kawan-kawan menautkan cerpen-cerpennya, bahkan seorang kawan secara rutin membagi pdf koran-koran itu. Kadang saya juga membaca kiriman-kiriman itu. Tapi kesukaan membeli koran tetap tak pernah hilang. Lanjutkan membaca “Rutinitas Hari Minggu: Membeli Koran”

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑