Cari

Yudhi Herwibowo

mencoba terus menulis…

bulan

November 2015

Laporan OPMI Halaman Terakhir, Media Indonesia 7 November 2015

07_11_2015_020_02807_11_2015_020_030

Obrolan Pembaca Media Indonesia: Halaman Terakhir (bagian 2)

Mas Bamby juga merasa bagian menuju ending novel Halaman Terakhir terlalu datar. Hal ini juga dirasakan oleh Mbak Silvia. Saya tentu bisa memahami keadaan itu. Saat merancang ending Halaman Terakhir saya juga merasakan hal yang sama, walau saya berusaha menutupinya. Walau bagaimana pun novel ini tetap harus saya posisikan sebagai novel biografi, di mana tokoh utama –Hoegeng- harus diceritakan sejak awal kelahirannya hingga di saat terakhirnya. Tentu ini tidak mudah. Puncak permasalah Hoegeng ada di tahun 1970 –saat 2 kasus yang saya tulis berlangsung. Ada jeda yang cukup lama sejak saat itu hingga kematiannya, sehingga perasaan pembaca setelah pemecatan Hoegeng hingga seterusnya memang cenderung menurun.

19 20 21 30 b 31 32 33  34

Mbak Silvia juga menyoroti kalau ia merasa karakter Djaba Kresna menjadi karakter paling kuat dalam Halaman Terakhir, mengalahkan karakter Hoegeng. Pendapatnya tentu tak salah. Karena saya memang mengeksplorasi karakter itu sungguh-sungguh. Namun sebenarnya saya sudah mempresentasikan masing-masing karakter dalam Halaman Terakhir. Ada 3 karakter paling kuat di situ: Hoegeng, Djaba Kresna, dan Sumaryah, dan karakter Hoegeng tetaplah menjadi karakter paling dominan di Halaman Terakhir berdasarkan prosentase.

Peserta lainnya, Mbak Vina, mempertanyakan keheranannya kenapa sebagai Kaapolri Hoegeng tak bisa mengurus dengan cepat kasus pemerkosaan yang menggegerkan itu. Ia terkesan kalah dengan Kadapol (sekarang Kapolda) Yogyakarta saat itu. Tentu jangankan Mbak Vina, saya sendiri saat meruntut kasus itu dari Koran Mertju Suar dan Minggu Pagi, cukup gemas dengan keadaan saat itu. Namun perlu dipahami kalau kasus itu melibatkan banyak orang-orang penting. Di masa itu gesekan antara polisi dan TNI begitu kuatnya, sehingga Hoegeng tidaklah mudah menuntaskannya

Catatan paling banyak diberikan oleh Pak Soedharto. Beliau telah membuat catatan berlembar-lembar dengan tulisan tangannya. Beberapa catatannya yang harus saya akui merupakan tambahan data yang  penting adalah: sebutan bagi Presiden Soekarno. Di Halaman Terakhir saya hanya menyebutnya dengan 3 gelar, namun seharusnya saya menyebutkannya dengan 5 gelar.

Kemudian perihal kedatangan Hoegeng di Cendana, di mana ia melihat mobil Soni Cahaya terparkir di sana, Pak Soedharto menegaskan pada saya bahwa Hoegeng memang melihat Robby Cahyadi di situ. Sebenarnya dalam wawancara saya dengan Mas Aditya –putra Pak Hoegeng- saya juga mendapat cerita itu. Namun setelah saya tinjau berbagai data, saya tak menemukan data valid tentang itu. Sehingga saya kemudian hanya melukiskan kisah Hoegeng melihat mobil si pelaku. Saya pikir, ini semacam pancingan imajinasi bagi pembaca apa yang sebenarnya terjadi di sana.

34 c 34 b6

  36 35

Catatan lain dari Pak Soedharto yang membuat saya sedikit berdebat adalah tentang rumah dinas Hoegeng. Pak Soedharto mengutarakan Hoegeng tak tinggal di rumah dinas, ia mengontrak rumah. Namun saya mendapat data dari buku Ramadhan KH, kalau Hoegeng tinggal di rumah dinas sekian lama. Itu adalah rumah dinas yang harus ditinggalkannya setelah dicopot sebagai kalpolri.

Sebenarnya ada beberapa pertanyaan, tanggapan dan kritik lainnya dari pembaca seperti dari Mas Aan, Mas Vicky, Mbak Hera, Mbak Vina, Nikotopia, dll. Namun ingatan saya terlalu buruk untuk mengingatnya dengan detil. Maafkan saya… 😦

foto2 dijepret oleh nikotopia

Obrolan Pembaca Media Indonesia: Halaman Terakhir (bagian 1)

Sekitar 5 tahun yang lalu, kumcer saya, Mata Air Air Mata Kumari, di-OPMI-kan oleh Media Indonesia. Ini adalah inisiatif teman-teman goodreads saat itu, Mbak Truly Rudiono, Mbak Melodie Violane, dll. Waktu itu saya tak bisa hadir di acara itu, sehingga hanya bisa membaca review-nya di koran Media Indonesia. Senang sekali rasanya buku saya dibahas dalam 1 halaman penuh.

Tahun ini, di bulan Oktober, buku saya Halaman Terakhir, Sebuah Novel Tentang Jenderal Polisi Hoegeng   kembali di-OPMI-kan. Saya langsung meyakinkan diri untuk datang di acara itu, sewaktu Penerbit Noura menghubungi saya.

Saya berangkat di Jumat malam dan tiba di Gambir menjelang Shubuh. Mas Mun –sopir Penerbit Noura- menjemput saya dalam keadaan masih mengantuk. Saya sedikit merasa gak enak. Tapi di perjalanan, kami banyak mengobrol. Saya jadi tahu, ternyata kawan-kawan Noura yang dulu memroses buku saya, sebagian sudah tak lagi ada di Noura.

Sampai di Noura saya berencana tidur. Saat di kereta, saya memang tak bisa tidur karena lamu kereta yang terlalu silau. Namun hanya 2 jam saya tidur, karena walau hari itu hari libur, ternyata ada tukang yang sedang membetulkan kamar mandi Noura.

Menjeang jam 10.00, Mbak Truly Rudiono datang. Kami membeli beberapa buku di toko buku Noura, yang merupakan titipan kawan-kawan saya di Solo.

Setelah Mbak Ani dan Mbak Seruni –tim promo Noura- datang, kami berangkat pukul 12.00 dengan asumsi harus mencadi tempatnya lebih dahulu di PX Pavillion, Kebayoran. Tenyata kami datang terlalu gasik, sehingga harus berjalan-jalan dulu dan menunggu di Café Crematology, tempat diskusi akan berlangsung.

12 13 11 9 8 7 5  3 2 1

Menjelang pukul 15.00, kawan-kawan dari Media Indonesia mulai berdatangan. Mbak Hera, Mas Wahyu, Mas Yoyok, dll. Beberapa tamu juga datang. Nikotopia, kawan semenjak di Solo, sudah datang paling awal, disusul Andhika. Keduanya penulis skenario yang sedang menggarap Kelas Internasional di NET TV. Raafi -yang baru beberapa hari lalu bertemu dengan saya di Solo- juga datang.

Satu mengejutkan adalah kehadiran mas Bamby Cahyadi cerpenis, penulis 3 kumcer –yang terbaru Gadis Lolipop. Sebelumnya, kami memang hanya mengenalnya di fb, sehingga cukup kaget juga ia berkenan datang. Apalagi ia sama sekali tak berkabar akan datang, sehingga ketika masuk di pintu café, saya setengan memandang tak percaya.

Yang paling mengejutkan adalah kehadiran Bapak Soedharto, penulis buku Hoegeng: Polisi dan Menteri Teladan. Beliau adalah mantan sekretaris Bapak Hoegeng. Jujur saja, ini sebenarnya sedikit membuat saya keder… 😛

Diskusi

Selama diskusi, Mas Wahyu menjadi moderatornya. Setiap peserta berhak mengutarakan pendapat, kritik atau apa un itu. Tentu karena semua peserta sudah mendapat buku, yang dikirim sekitar 10 hari sebelumnya, hampir semuanya ingin memberi tanggapan. Beberapa yang saya ingat adalah:

15 16  1817 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 b 30

Mas Bamby mengawali pertanyaan dengan karakter-karakter dalam Halaman Terakhir. Ia menanyakan karakter fiksi dan karakter yang sebenarnya, dan kenapa ada karakter yang seperti hilang begitu saja di kelanjutan novel? Tentu karena ini sebuah novel, dapat dikatakan imajinasi berperan sekali. Walau begitu beberapa karakter memang merupakan karakter sebenarnya yang saya olah sedemikian rupa. Karakter Djaba Kresna sangat dekat dengan karakter Djabaruddin, yang merupakan penulis berita pertama tentang kasus pemerkosaan yang menggegerkan itu. Karena tak ingin mengorek luka lama, beberapa karakter memang harus diganti namanya. Namun saya tetap mempertahankan inisialnya. (bersambung)

foto2 dijepret oleh nikotopia

Blog di WordPress.com.

Atas ↑