Cari

Yudhi Herwibowo

mencoba terus menulis…

bulan

Juni 2016

Amin Maaloef: Sosok Lain dari Lebanon

amin

Sudah sejak lama saya memiliki buku Balthasar’s Odyssey, Mencari Nama Tuhan yang Keseratus, tapi baru beberapa bulan lalu saya merampungkannya. Dulu, saya sebenarnya sudah tertarik untuk membacanya dan sudah emngantrikannya di di samping tempat tidur saya. Ini gara-gara sewaktu pergi ke pameran, Haris Firdaus -seorang kawan Pawon- bener-benar mencari buku itu. Sampai ketika ada buku Amin Maalouf yang saya rasa merupakan bajakan (?), ia tetap membelinya. Waktu itu saya hanya berpikir, sampai segitunya

Tapi saat mulai membaca Balthasar’s Odyssey semua itu terjawab. Di blurps buku itu tertulis pembaca akan terbawa dari halaman pertama. Itu tentu kalimat pasaran yang sering kita baca di blurps-blurps novel. Tapi sungguh di novel ini itu ternyata bukan kalimat mitos.

Maka itulah, saya merancang membicarakan sosok Amin Maalouf di #bincangsastra Solopos FM. Saya pikir sosok penulis ini masih jarang sekali diulas. Di internet pun data-datanya begitu sedikit. Mungkin karena Maalouf berbahasa Prancis.

Lanjutkan membaca “Amin Maaloef: Sosok Lain dari Lebanon”

Membaca Bersepeda Ke Neraka: Cerita-cerita yang Tak Pernah Selesai

Bagaimana sebuah cerita bermula?

Pernah mencoba menjawabnya dengan runtut?

6826145_e5169bad-cbbd-4099-9021-2f8ec2952947 Dulu, saya punya seorang kawan yang selalu ada dalam mood buruk. Bicara dengannya sungguh merepotkan. Ia selalu jadi anomali di antara kawan-kawan yang lain. Kadang saya sampai berpikir: ia adalah si penghancur kegembiraan. Saat semua kawan sedang  gembira akan sesuatu, ia muncul dengan ekspresi wajah yang datar. Tentu, kawan saya itu bukan penulis, bukan pula pencerita, tapi saya pikir ia adalah obyek cerita yang baik. Herannya, saya tak pernah bisa menulis apa-apa tentangnya. Yang bisa saya tulis hanyalah percikan-percikan kisah-kisah kecil tentangnya. Tak ada yang benar-benar jadi sebuah cerita yang utuh. Namun selang beberapa tahun kemudian, cerita-cerita kecil yang saya corat-coret di buku catatan saya itu, bisa membuat saya terlempar ke cerita-cerita besar dengannya. Anehnya, cerita itu seperti menjadi lebih besar dari seharusnya.

Saya pikir fiksi mini dibuat dengan tujuan –atau harapan- seperti itu. Sebenarnya saya sendiri bukan tipe penyuka cerita-cerita mini. Sepertinya hanya 2 mini yang asyik: Mini Mouse dan rok mini. Tapi tentu bukan fiksi mini Saya lebih suka cerita yang panjang. Karena cerita yang pendek, punya kecenderungan sama dengan cerita lainnya. Walau saya tahu membuat fiksi mini, walau nampak mudah, sebenarnya lebih sulit dari yang dikira.

Membuat fiksi mini butuh kosentrasi di setiap kalimat, bahkan kata. Tak bisa dibuat seadanya. Ini jauh lebih sulit dari membuat paragraf pertama. Dengan sajian kalimat yang minim, pembacalah yang diharapkan menyusun cerita. Pembaca dituntut menjadi pembaca yang tak malas. Pembaca yang mau merenung sejeda-dua jeda.

Awalnya saya mengira para pembuat cerita fiksi mini membuatnya cerita karena gelontoran ide yang bejibun di kepalanya. Namun tak semua sanggup diolahnya menjadi cerpen dan novel. Karena kadang ide-ide itu terlalu sederhana, bahkan masih berupa embrio. Tapi mulai setahun belakangan ini, pikiran itu sepertinya tak bisa saya yakini sepenuhnya. Itu sama seperti ketika saya mulai membaca Bersepeda ke Neraka karangan Triyanto Triwikromo (TT). Lanjutkan membaca “Membaca Bersepeda Ke Neraka: Cerita-cerita yang Tak Pernah Selesai”

Film-film tentang Penulis Dunia Favorit Saya

Ada banyak film tentang penulis dunia. Awalnya saya ingin membuat posting tentang film-film yang wajib ditonton bagi penulis, tapi rasanya itu terlalu luas. Jadi kemudian saya bagi saja menjadi 2: yang pertama tentang film-film yang mengangkat penulis-penulis dunia, yang kedua adalah tentang film-film yang wajib di tonton para penulis, atau yang berkeinginan menjadi penulis.

Ini yang pertama lebih dulu…

 

Brigh Star (2012)

bright_starWalau judulnya indah, tapi ini adalah film yang muram. Entah kenapa saya begitu suka dengan film ini. Ini kisah tentang penyair besar John Keats, yang puisinya beberapa kali pernah saya baca. Walau belum ada buku puisinya secara khusus diterjemahkan, tapi satu-dua puisinya banyak termuat dalam antologi bersama.

Film ini fokus pada bulan-bulan sebelum John Keats meninggal. Adalah Fanny Brawne (diperankan Abbie Cornish) yang jatuh cinta pada John Keats (diperankan Ben Whishaw), setelah ia mendapatkan buku kumpulan puisi, Endymion. Tapi cerita kemudian tak bergulir sesederhana itu. Awalnya John tak tertarik dengan Fanny. Bagaimana pun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Fanny adalah seorang fashionita sedangkan John tak menyukai dunia glamour itu.

Namun pada akhirnya cinta bersemi. Tapi keadaan tak semulus itu. Kondisi keduanya yang tak memiliki cukup uang, ditambah kedua keluarga mereka sepertinya ada dalam posisi tak ingin keduanya bersatu. Tapi di sini kekuatan cinta keduanya diuji.

Saya petikkan satu puisi John, Bright Star, yang sempat pula ditulisnya di salah satu surat untuk Fanny.

Bright star! would I were steadfast as thou art—/ Not in lone splendour hung aloft the night / And watching, with eternal lids apart, / Like nature’s patient, sleepless Eremite, / The moving waters at their priestlike task / Of pure ablution round earth’s human shores, / Or gazing on the new soft-fallen mask / Of snow upon the mountains and the moors— / No—yet still steadfast, still unchangeable, / Pillowed upon my fair love’s ripening breast, / To feel for ever its soft swell and fall, / Awake for ever in a sweet unrest, / Still, still to hear her tender-taken breath, / And so live ever—or else swoon to death.

Lanjutkan membaca “Film-film tentang Penulis Dunia Favorit Saya”

Blog di WordPress.com.

Atas ↑