Cari

Yudhi Herwibowo

mencoba terus menulis…

bulan

Oktober 2014

Tempat itu Bernama El Torros

Beberapa hari lalu saya dapat email dari seorang kawan. Dia penulis yang sudah sejak lama saya kenal. Beberapa buku-bukunya: Lentera Aisha, The 100th Dragonfly, Mauve, dan Sonnenblume. Yang membuat saya tersentuh, ia bukan mengemail saya berkenaan dengan soal-soal buku2 saya, atau pun buku2nya. Ia menulis tentang eLtorros

Berikut saya copas emailnya. Tentu dengan seijinnya…

***

Belakangan ini saya sering melintas di kawasan belakang kampus UNS (Universitas Sebelas Maret), almamater tercinta. Setiap melewati kawasan itulah, berlintasan pula sederet kenangan dalam lambung angan. Romantika kesibukan masa lalu di deretan pagar belakang kampus, yang kini tampak lapang namun terasa angkuh. Suasana yang berbeda jauh dibandingkan saat saya masih kuliah dulu, kisaran tahun 2000-2004.
Sebelum dilakukan penataan dan penertiban, wilayah belakang kampus adalah tempat yang paling asyik dan wajib untuk didatangi saat ada jam kosong kuliah, saat mendadak harus nge-print tugas, saat lapar, atau sekadar iseng membeli minuman untuk melepas dahaga. Terutama untuk mahasiswa di fakultas yang lokasinya di bagian belakang kampus.
Bisa dibilang, segala macam keperluan mahasiswa ada di situ. Kios koran dan majalah, warung makan murah meriah, tempat fotokopi, rental komputer, toko baju, toko jilbab, warung rujak, sampai tukang tambal ban, semua ada di kios-kios sepanjang pagar belakang kampus. Kios-kios tersebut tidak pernah sepi dari pelanggannya, siapa lagi kalau bukan mahasiswa.
Ada satu tempat di kawasan tersebut yang paling nge-hits, namanya persewaan buku El Torros, yang dulu beken di antara mahasiswa dengan nama LT (baca: elti). Hampir semua mahasiswa angkatan saya pernah mampir di LT. Pada masa itu, LT itu adalah persewaan buku yang paling keren. Tempatnya rapi, bersih, buku-bukunya disampul dengan baik, dan asyiknya lagi, buku-buku yang ada di situ selalu ‘new arrival’.

Lanjutkan membaca “Tempat itu Bernama El Torros”

Saya dan Pawon

Sebenarnya keinginan menulis tentang Buletin Sastra Pawon sudah sejak lama ingin saya lakukan. Tapi saya selalu merasa tak pernah mendapat moment yang pas. Di hari-hari belakangan ini, saya pikir hari kesempatan itu akhirnya datang. Hari Selasa, 10 September 2014, saya memutuskan mundur sebagai koordinator Pawon. Dalam pertemuan hari itu saya mengundang kawan-kawan di Wedangan Panjer Sore, dengan menambahi undangan itu dengan kata penting.

Sebenarnya keinginan saya mundur sudah ada sejak lama. Ketika saya mulai membentuk Diskusi Kecil untuk perekrutan anggota baru, itu langkah awalnya. Tapi saat itu, tertunda karena beberapa hal. Keinginan itu mulai menguat lagi selepas Festival Sastra Solo Februari 2014. Entah kenapa saat itu saya merasa sangat jenuh sekali membuat acara-acara sastra. Awalnya saya pikir itu hanya sesaat saja karena festival itu memang menforsir semuanya. Beberapa kawan saya rasakan juga mengalami hal seperti itu. Rasanya lebih sulit mengordinir mereka, walau itu sekadar untuk kumpul rapat.  Namun sampai 6 bulan lewat, kejenuhan itu tak hilang juga.Maka saya pikir, tak adil rasanya bila saya masih terus di situ. Lanjutkan membaca “Saya dan Pawon”

10 Buku yang Paling Berpengaruh Bagi Saya

Sebenarnya saya sudah hampir menulis ini saat beberapa kawan menchallenge saya di facebook. Tapi saat itu saya sedang tak menulis status karena sedang menyelesaikan novel saya. Beberapa hari lalu saya kepikiran lagi untuk menulisnya, namun saya merasa sangat terlambat untuk mempostingnya.
Tentu sampai saat ini buku yang sudah saya baca cukup lumayan jumlahnya. Dan rasanya banyak juga yang bagus-bagus. Sehingga bila memilih 10 saja, rasanya akan sangat sulit dan tak adil. Apalagi saya sudah menyukai buku sejak lama. Ada periode-periode yang panjang, dimulai sejak buku-buku anak-anak, remaja, hingga dewasa. Sehingga rasanya sedikit tak adil bila hanya menuliskan beberapa yang saya baca sekarang saja.
Tapi setelah saya pertimbangkan, saya akhirnya menulis dengan kriteria yang saya buat sendiri. Buku-buku itu, tentu bukan komik, haruslah begitu bagus, sehingga saya sampai membacanya berulang kali. Satu lagi buku itu punya peran dalam karir kepenulisan saya.

IMG_3076[1]
2 buku yang tak berhasil difoto. Potret-potret – bubin LangtanG bukunya hilang sedang dan Pak Tua yang Membaca Novel Cinta saya berikan pada seorang kawan.
1.    Tetralogi Anak-anak Mama Alin dan Bila – bubin LangtanG
Pilihan nomor 1 saja terdiri dari 5 buku. Entah kenapa saat remaja, saya begitu suka dengan penulis ini.  Saya agak sedikit terlambat karena waktu pertama kali saya membacanya, bukan dari Majalah Hai yang memuat kisah-kisahnya secara continue, tapi benar-benar dari bukunya. Saat itu, saya juga menyukai Lupus dan Balada Si Roy, tapi saya pikir Bubin Lantang adalah penulis yang membuat saya ingin menjadi penulis juga. Dulu, saya bahkan beberapa kali seperti ikut-ikutan dengan cara bubin LangtanG menulis. Misalnya selepas membaca Bila, saya kepikiran menulis novel dengan judul dari 1 kata yang bukan kata benda. Maka itulah saya menulis novel dengan judul Lalu. Kelak novel ini diterbitkan dengan judul Menuju Rumah CintaMu (Bentang) Lanjutkan membaca “10 Buku yang Paling Berpengaruh Bagi Saya”

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑