Cari

Yudhi Herwibowo

mencoba terus menulis…

bulan

Mei 2013

Tak Sekedar tentang Seorang (calon) Penyair dan Kopi yang Nikmat…

ImageBerabad-abad yang lalu ada penyihir besar yang bisa berkomunikasi dengan para zar, roh-roh yang memerintah – atau sebenarnya, salah mengatur – dunia kita. Waktu penyihir ini mati, dewa langit sedih sekali, karena sekarang tak ada lagi yang cukup kuat untuk mengendalikan para roh. Air mata pahit Tuhan jatuh ke atas makam si penyihir, dan di mana air matanya jatuh, semak kopi pertama tumbuh. (halaman 616)

Sewaktu membaca blurbs di cover novel The Various Flavours of Coffee karangan Anthony Capella, 3 hal yang menarik perhatian saya: seorang calon penyair, kopi-kopi yang istimewa dan sebuah perjalanan panjang ke negeri eksotis.

Coba bayangkan, apa yang bisa terpikirkan dari 3 hal tersebut?

Hanya sebuah kisah menarik yang kemudian saya bayangkan. Lanjutkan membaca “Tak Sekedar tentang Seorang (calon) Penyair dan Kopi yang Nikmat…”

Budak Sang Mestizo, cerpen saya di antologi Kisah-kisah yang Terburai di Telapak Tangan, terbitan TBJT

ImagePernahkah kau mendengar kisah tentang seorang mestizo, yang mengalami kematian paling mengerikan di negeri ini? Ia disiksa hingga tubuhnya hancur. Tangan dan kakinya yang diikat, kemudian dikaitkan pada 4 ekor kuda yang dipacu kencang dengan arah berlawanan, hingga tubuhnya pun tercerai berai menjadi beberapa bagian. Tak hanya di sampai di situ, kepalanya kemudian di gantung di gerbang kota untuk dipertontonkan kepada khalayak, dan ketika membusuk, dibangunlah untuknya sebuah tugu setinggi 2 meter yang di atasnya dipasang sebongkah tengkorang dengan tombak yang tertancap!

Kau mungkin sudah tak ingat lagi tentang kisah itu, tapi aku akan selalu mengingatnya dengan jelas. Sangat jelas, sejelas setiap kata yang ditulis di tugu pengingat itu:

Sebagai peringatan yang menjijikkan akan penghianat  yang dihukum, tak seorang pun sekarang atau untuk seterusnya akan diijinkan membangun, menukang, memasang batu bata menanamkan di tempat ini. Batavia, 14 April 1722.[1] Lanjutkan membaca “Budak Sang Mestizo, cerpen saya di antologi Kisah-kisah yang Terburai di Telapak Tangan, terbitan TBJT”

Miracle Journey, review My Book Reviews Corner

ImagePenerbit : Elex Media Komputindo
Tebal : 172 Halaman

Lalu apa yang bisa engkau ceritakan tentang jejak-jejak yang terlihat di jalan setapak, dan pelan-pelan hilang tersapu angin? Sebagai pengingat kita untuk tak lagi melihat ke belakang?

Saya pernah membuat review buku Perjalanan Menuju Cahaya dimana di dalam ceritanya terdapat legenda tentang Kitta Kadafaru dari desa Kofa. Desa Kofa yang indah dan memiliki empat mata air semenjak Kitta lahir. Kitta yang dapat menyembuhkan orang lain dengan cahaya yang ada di telapak tangannya.

Lalu suatu hari Kitta Kadafaru muda meninggalkan Kofa, dan mulai saat itu Kofa kembali menjadi desa yang gersang seperti desa-desa sekitarnya.

Kitta Kadafaru merasa perlu mencari jawaban tentang kegelisahan yang menggumpal di hatinya. Tentang beban yang ia rasakan karena fisiknya yang memiliki kekurangan, tentang hal2 yang bisa ia lakukan sehingga membuatnya dianggap sakti oleh penduduk desanya.

Kitta Kadafaru, pemuda dengan punuk di punggungnya. Kitta Kadafaru, pemuda dengan mimpi sederhana, menjadi normal seperti orang-orang lainnya.

Aku ingin menjadi burung-burung yang bisa terbang bebas menuju langit tak bertepi, dan bersembunyi di balik awan…

Lanjutkan membaca “Miracle Journey, review My Book Reviews Corner”

bersama kawan2 penulis solo dalam antologi: kisah-kisah yang terburai di telapak tangan

“Para pencerita piawai adalah pesulap-pesulap yang baik. Mereka berusaha mengubah yang nothing menjadi something, atau sebaliknya dengan berbagai cara, dengan berbagai nonsens dan kebetuilan. Hasilnya mungkin kekosongan yang indah. Mungkin keriuhan yang sublim. Ke-12 pencerita dalam buku ini telah berjuang keras menghipnotis pembaca. Tak semua pembaca takjub atau mungkin kecewa karena tak semua pencerita mampu mengubah hal-hal biasa menjadi sesuatu yang terlalu. Tetapi percayalah setiap kreasi pencerita adalah sulapan kreatif yang mendebarkan hati kita…”
(Triyanto Triwikromo, sastrawan pemeroleh Penghargaan Sastra 2009 Pusat Bahasa)

JOGLO 14

cerpen saya di antologi ini adalah budak sang mestizo, cerpen sejarah tentang seorang bernama Pieter Elberveld yang diduga akan memberontak pada voc.  ia kemudian dihukum secara mengerikan. untuk menakut-nakuti, voc kemudian membangun sebuah monumen. Kelak monumen itu diberi nama  Monumen Pieter Elberveld. Dulu letaknya ada di Jalan Jakarta (sekarang Jalan Pangeran Jayakarta), sehingga orang2 dapat dengan mudah membaca tulisan di monumen itu:

Sebagai peringatan yang menjijikkan akan penghianat Pieter Erberveld yang dihukum, tak seorang pun sekarang atau untuk seterusnya akan diijinkan membangun, menukang, memasang batu bata menanamkan di tempat ini.Batavia, 14 April 1722.

Namun pada tahun 1942 monumen itu dihancurkan tentara Jepang yang baru tiba.

Blog di WordPress.com.

Atas ↑