Cari

Yudhi Herwibowo

mencoba terus menulis…

bulan

Januari 2017

Ke mana Pembeli Buku Sastra Kita?

looking-for-something-little-boy

Waktu masih menulis buku komedi, seorang kawan penulis buku serius yang baru saya curhati tentang buku komedi saya yang kembali dicetak ulang, bertanya dengan setengah menerawang: apa beda pembaca sastra dan pembaca alay? Sebelum saya menjawab, ia sudah menjawab dengan suara yang pahit: pembaca alay membeli buku!

Walau terkesan bercanda, tapi bila dipikir dalam-dalam, jawaban pertanyaan itu merupakan sindiran yang sangat telak. Walau saya sedikit tak bersepakat tentang sebutannya tentang pembaca alay, namun saya tahu maksudnya lebih cenderung pada pembaca buku-buku ringan yang biasa dipilih anak-anak baru gede. Bagaimana pun, pembaca ini, yang sering dicemooh sebagai alay, lebih ringan hati untuk membeli buku kesukaan mereka.

Lanjutkan membaca “Ke mana Pembeli Buku Sastra Kita?”

Manga-manga Kenangan yang Seharusnya Terus Dicetak Ulang

Karena Buletin Sastra Pawon yang mengadakannya, saya yakin banyak kawan-kawan yang akan menulis tentang buku-buku sastra. Saya awalnya juga ingin menulis itu. Tapi setelah saya pikir-pikir, saya membatalkan niatan itu.

Awalnya tentu yang ingin saya tulis adalah komik-komik secara umum. Tapi bicara komik secara umum, selalu saja tak bisa melepaskan diri dari komik-komik legendaris seperti Tintin, Asterix, atau juga Lucky Luke. Bagaimana pun komik-komik itu sulit sekali untuk ditepikan. Jadi saya merasa tulisan saya pastilah tak akan terlalu menarik. Apalagi banyak komik yang merupakan serial, komik-komik satu seri –yang kini istilahnya oneshot– dapat dikatakan cukup jarang. Saya jadi takut ulasan saya akan melebar pada novel grafis yang banyak dalam kondisi 1 komik tamat. Jadi setelah saya pikir-pikir saya kerucutkan pada manga. Ini mungkin lebih menarik. Apalagi daftar manga yang saya baca dulu cukup bejibun. Saya pernah ada di era: membaca semua komik (cowo) yang dirilis. Itu saat di masa awal saya membuat persewaaan buku hampir 11 tahun yang lalu.

998af461baf861c71c6843559763f2f4

Lanjutkan membaca “Manga-manga Kenangan yang Seharusnya Terus Dicetak Ulang”

Buku-buku yang Seharusnya tak Perlu Lagi Diterbitkan

Berapa lama waktu yang dibutuhkan penulis untuk menyadari buku-buku yang pernah ditulisnya telah usang?

Beberapa tahun lalu selepas trend buku komedi mulai turun, saya dihubungi penerbit untuk menawarkan penjualan buku-buku komedi saya yang sebelumnya mereka terbitkan untuk dipasarkan melalui playstore. Saya hanya menandatangani 3 di antaranya. Ada satu buku yang tak ingin saya terbitkan ulang, walau dalam bentuk online sekali pun.

Dalam dua tahun terakhir, karya-karya klasik banyak kembali diterbitkan. Tercatap yang sangat gencar adalah KPG, Qanita, Noura, Gramedia, dan beberapa penerbitan lainnya di Yogyakarta. Penerbitan itu tentu di satu sisi menguntungkan kita. Bagaimana pun karya-karya yang diterbitkan itu biasanya adalah karya-karya yang terus-terusan dibicarakan, bahkan dikutip di sana-sini. Lanjutkan membaca “Buku-buku yang Seharusnya tak Perlu Lagi Diterbitkan”

Siapa Pihak Paling Diuntungkan dalam Obral Buku Besar-besaran Secara Terstruktur, Sistematis dan Masif Selama Tahun 2016?

pameran-buku1.jpg

pic dari https://flpjatim.wordpress.com/2011/09/17/pameran-buku-di-kota-kecil/

Bagi saya, kenangan datang di pameran buku paling menyenangkan mungkin saat pameran buku masih digelar di Gedung Sritex Slamet Riyadi Solo. Saat itu bukan karena saya bisa mendapat buku semacam Davinci Code dengan harga 30.000 saja, atau buku  sastra terbitan Serambi hanya 20.000 – 30.000, tapi karena banyaknya penerbit dan distributor yang mengikuti pameran membuat keadaan pameran buku jadi menyenangkan.

Tapi setelah itu keadaan menjadi berbeda. Ikapi tak lagi bisa membuat pameran yang menyenangkan. Beberapa stand berisi perpustakaan daerah, yang tak pernah saya tahu apa maksudnya berada di situ? Toko-toko buku seperti Gramedia lebih memilih membuat pameran di tokonya sendiri. Sejak itu pameran buku saya rasa lebih pas disebut obralan buku. Lanjutkan membaca “Siapa Pihak Paling Diuntungkan dalam Obral Buku Besar-besaran Secara Terstruktur, Sistematis dan Masif Selama Tahun 2016?”

Buku Terakhir di 2016, Buku Pertama di 2017

Daripada lupa (lagi), mending ditulis (lagi).

Sebenarnya di akhir-akhir ini saya membaca beberapa buku sekaligus. Namun payahnya, banyak tak berhasil saya selesaikan. Beberapa di antaranya adalah Raden Mandasia milik Mas Yusi Pareanom, Theresa milik Emile Zola, Moemie Gadis yang Berusia 100 Tahun milik Marion Bloem. Sialnya yang terakhir ini baru saya selesaikan 100 halaman saja.

7166739_orig.jpgDi penghujung tahun 2016, saya menyelesaikan The 100 Year-Old Man Who Climbed Out the Window and Disappeared milik Jonas Jonasson. Sebenarnya buku ini sudah saya baca sejak tahun lalu. Tapi saya stuck di bab 14. Entah kenapa buku itu tertumpuk dengan buku lainnya, lalu seperti disappeared beneran. Tapi yang pasti saya merasa agak bosan membacanya. Bukan karena ceritanya jelek. Tapi lebih karena penulis yang seperti membuat alurnya bergerak sedemikian bebas. Tokoh utama Allan Carlsson seperti punya garis hidup istimewa yang dengan mudah berpergian ke mana pun, termasuk Indonesia, dan bertemu tokoh-tokoh pemimpin dunia dan berinteraksi dengan mereka. Walau di beberapa bagian ini bisa menjadi lucu dan membuat saya tersenyum, tapi di beberapa bagian lain ini membuat saya sedikit mengerutkan kening. Lanjutkan membaca “Buku Terakhir di 2016, Buku Pertama di 2017”

Film Terakhir di 2016, Film Pertama di 2017

Daripada lupa, mending ditulis.

fullsizephoto753940Saat orang-orang lain bertahun baru, apesnya saya malah mendekam di kamar seorang diri berteman seekor cicak dan aroma tajam pengharum lantai. Saat seperti itu memang paling enak menonton film. Yang saya pilih malam itu adalah The Age of Shadow. Alasannya simple, saya sedang ingin menonton film-film bertema seperti Assasination yang rilis setahun lalu.

Ada 2 karakter kuat di film ini Lee Jung-Chool (diperankan Song Kang Ho) dan Kim Woo Jin (diperankan Gong Yoo). Dua-duanya karakter yang bertolak-belakang. Yang satu karakter opurtunis yang memilih menjadi antek penguasa Jepang, dan yang satu lagi merupakan tokoh idealis yang diam-diam aktif dalam gerakan kemerdekaan Korea. Namun pada akhirnya keduanya dapat bekerja sama, dalam jeda-jeda kebimbangan yang selalu ada pada sosok Lee Jung-Chool. Lanjutkan membaca “Film Terakhir di 2016, Film Pertama di 2017”

Blog di WordPress.com.

Atas ↑