Beberapa tahun lalu saya membaca buku Orang Laut Bajak Laut Raja Laut dari Adrian B. Lapian, ada satu kisah keren tentang bajak laut bernama Robodoi yang berpetualang di laut yang ada di sekitar Ternate dan Tidore. Sedikit petikannya yang saya ambil dari laman resmi Majalah Jawara:14570441_1716928885299538_3383940170246603829_n

Aku ingat bagaimana ayah pertama kali mengajakku dalam perahunya. Aku tak banyak bertanya kala itu. Namun, ketika ayah menyerahkan sebatang tombak padaku, aku sadar kalau ini tentu bukan sesuatu yang biasa. Seorang anak yang baru menjadi pemuda, dipercayakan sebatang tombak. Ini isyarat bagi semacam ritual inisiasi menuju kehidupan yang sebenarnya.

Aku tahu, sudah sejak lama ayah menjadi anak buah Sultan Nuku. Kesultanan itu memang tengah berperang melawan VOC. Maka itulah darahku mendesir ketika ayah menyuruhku dan beberapa pemuda lainnya menuju lautan.

Masih kuingat saat itu dengan lekat. Sebuah kapal yang diduga membawa puluhan budak akan menuju Sape. Awalnya, ayah memerintah kami untuk menunggu saat mereka menghancurkan kapal itu dan membawa budak-budak yang berhasil direbut, sebelum orang-orang berkulit pucat itu membelinya dan menjadikan mereka pasukan. Tapi, suasana tak bisa dikendalikan, saat meriam kapal besar itu mulai mengarah pada perahu kami.
Itu adalah peperangan pertamaku. Napasku seakan terhenti saat perahu yang kami tumpangi mulai meluncur.

Teriakan kami memecah bagai teriakan burung-burung bangkai di kala menemukan mayat. Lalu, panah-panah menyebar ke langit, senapan-senapan berdesing, seiring tubuh-tubuh berpedang panjang melompat ke dalam kapal musuh yang jauh lebih tinggi. Teriakan-teriakan kemenangan dan teriakan-teriakan kematian kemudian memecah tak lagi bisa dibedakan.

Ini hari yang menentukan. Tombak yang selama ini hanya kupakai untuk berburu binatang hutan, kini merasakan tubuh-tubuh musuh yang hangat. Kematian seakan telah diciptakan untuknya.Dan kemenangan selalu menjadi candu. Saat Sultan Nuku terdesak oleh orang-orang berkulit pucat itu dan ayah tewas di pertempurannya, aku memutuskan pergi bersama kawan-kawanku. Kami berpindah-pindah tempat seperti selayaknya orang buruan. Mencoba membaur dengan penduduk desa di Labeta, lalu pindah lagi ke Raja Ampat.

Tapi, lautan selalu memanggilku. Ya, sejak ucapan ayah padaku semasa kanak dulu, diam-diam aku sudah menjadikan laut sebagai sahabat terbaikku. Secara teratur, aku memberi persembahan buat mereka, entah itu kepala kerbau atau pun kepala sapi yang segar. Maka itulah, aku dan laut sepertimemiliki ikatan yang tak bisa dipahami orang lain.

___

Keganasan mereka sampai tercatat dalam syair2 kerajaan Bima tahun 1830
ini petikannya:

musuh pun masuk ke dalam kota / mengambil senjata dengan segala harta / setengahnya orang nasib yang leta / perempuan laki-laki tertawan semata
api dengan senjata tempat mengaruh / seteng

ahnya membakar setengahnya memburu / orang Wera sangat haru biru / naik gunung yang mahameru
berkacaulan lari seperti lebah / bersiaran bagai belalang ditebah / sepanjang jalan tersungkur rebah / laksana ikan yang kena tuba
riuh rendah ia mengangkut / berjalan beriring seperti semut / rupanya bagai setan mengerbang rambut / tubuhnya hitam memakai kancut

Cerpen ini sudah saya cukup lama. Panjangnya lebih dari 14rb karakter. hanya bisa saya kirim di satu media. dan ketika tak diterima, cerpen ini hanya tersimpan di komputer. Sepanjang masa itu, setiap mau mengeditnya menjadi 10rb karakter agar bisa dikirim ke media lain, saya selalu merasa gagal. Untunglah ada majalah jawara yang mau memuatnya sepanjang itu.

Yuuk, dibeli majalahnya…