MV5BZTdiZjAyNTMtZjM2MC00MmNjLWJhYTMtNDg0MGY1MDI0Y2FiXkEyXkFqcGdeQXVyODY3Nzc0OTk@._V1_SY1000_SX675_AL_

It’s all rhythm

Once you get that, you can’t uses the wrong words

A sight, an emotion, create a wave in the words

Long before you have the words to describe it

When writing, that is what you must recapture

That wave as it breaks and tumbles in the mind

If you listen it will make the words to fit it…

 

Saat menerbitkan Senin atau Selasa, kumpulan cerpen Virginia Woolf, saya banyak membaca tulisan-tulisan tentang sosok Virginia Woolf yang banyak tersebar di internet, terutama kisah-kisah di balik buku Senin atau Selasa.

Sampai kemudian film Vita & Virginia ini muncul dan membuat apa yang saya bayangkan tentang sosok Virginia di pencarian saya selama ini, terasa belum ada apa-apanya. Mungkin ini karena keterbatasan saya membaca dan menonton film tentang Virginia. Percayalah, kalau bekalmu juga hanya menonton film The Hours, film ini benar-benar berbeda. Film ini mengambil sisi yang berbeda dari film yang muram itu. Virginia masih  cukup muda, dan menuju puncak ketenarannya. Ia belum nampak terlihat depresi, walau tanda-tandanya sudah terlihat ada.

Film ini diangkat dari naskah drama Eileen Atkins yang pernah dipentaskan tahun 1992. Sutradara Chanya Button kemudian mengembangkan naskahnya bersama Eileen Atkins sendiri. Dan Gemma Arteton, yang memainkan tokoh Vita Sackville-West, menjadi produser eksekutifnya.

Film Vita & Virginia dibuka dengan adegan percetakan buku dengan mesin-mesin tua milik Hogarth Press, penerbitan milik Virginia Woolf (dimainkan Elizabeth Debicki) dan suaminya, Leonard Woolf. Di ujung ruangan, ada sebuah kamar yang selalu tertutup dengan tanda silang, di mana Virginia Woolf selalu menulis di balik jendela yang lebar, dengan buku dan penanya (yups, pena!).

Film ini begitu kuat memberi gambaran tahun 1920 di London, terutama di Bloomsbury Grup yang terkenal itu. Jujur saja, awalnya saya pikir grup itu semacam kumpulan orang –terutama penulis– yang duduk di meja besar dan membahas tentang buku tertentu, tapi rupanya di film ini tergambarlah apa yang sebenarnya terjadi di klub buku itu. Tak sedikit orang yang datang ke situ –sebagian besar adalah intelektual, ahli filsafat dan seniman lainnya. Mereka datang karena undangan, bukan serta merta datang begitu saja. Di situ mereka menikmati makan, minum dan pesta dansa. Namun di antara semuanya, sebenarnya hanya ada 10 anggota utama di grup ini. Virginia dan Leonard adalah salah duanya.

Vita Sackville-West beruntung mendapat rekomendasi untuk datang ke grup itu. Ia sebenarnya seorang penyair dan novelist bestseller. Ia juga dianggap sebagai salah satu gadis yang berpandangan paling modern di masa itu. Dalam satu siaran radionya, ia dengan berani mengatakan tak melakukan perjanjian pernikahan dengan suaminya, Harold. Ia bahkan seperti membuat perjanjian open married dengan suaminya. Namun satu hal yang pasti, ia adalah pengagum Virginia. Pada tahun-tahun itu, Virginia sudah menjadi icon penting di kota London, terutama di Bloomsbury Grup. Di sisi lain, ternyata Virginia juga diam-diam suka mendengarkan siaran radio Vita, yang dianggapnya sangat berani.

Di Bloomsbury Grup itulah keduannya bertemu. Vita –yang selalu memadukan gaya pakaian laki-laki dan perempuan– tak menutupi kekagumannya pada Virginia. Bagaimana ia memandang penuh hasrat pada Virginia yang bicara panjang di samping suaminya. Jujur saja, sosok Vita tak saya kenali sebelumnya. Saya  merasa publik Indonesia juga gak cukup akrab. Tapi BBC ternyata pernah menayangkan film miniserinya yang berjudul Portrait of a Marriage tahun 1990, yang menceritakan hubungan-hubungan cintanya, terutama bersama penulis Violet Keppel. Kedua penulis ini cukup hebat di masa itu. Di film Vita & Virginia, nama Violet Keppel juga disebut-sebut, karena bersama dialah Vita menjalin kisah cinta yang panjang. Sebenarnya Portrait of a Marriage adalah buku yang ditulis sendiri oleh Vita, namun tak pernah dipublikasikan sampai tahun 1973, 10 tahun setelah kematiannya. Di buku itu Vita sebenarnya menulis tentang bisexual, dan berharap menjadikan buku ini semacam science proposal, sehingga ia memakai banyak metafora untuk menjelaskan tokoh-tokohnya.

Di depan suaminya, Vita tak menutupi ambisinya untuk menaklukan Virginia Woolf. Ia bahkan mengirim naskah terbarunya pada Hogart Press, yang pada masa itu adalah penerbit buku-buku idealis. Konon di masa mereka menerima naskah Vita, mereka baru saja merilis naskah Tom Eliot dan Sigmund Frued. Tentu saja naskah Vita ini awalnya hanya dipandang sebelah mata.

Di sisi lain, seorang  kawan dari Vita malah tak setuju atas tindakan Vita itu. Ia bilang, “Mereka beruntung mendapatkan naskahmu. Bukumu terjual, tapi ia tidak,” ujarnya menyindir naskah Virginia. Tapi Vita malah membalasnya, ”Aku hanya ingin ia mengagumiku.”

Dan benar, beberapa tahun kemudian, buku Vita-lah (Seducer in Ecuador) yang malah menolong keuangan Hogarth Press.

Semakin lama Vita tak berusaha menutupi perasaannya. Ia terus menulis surat panjang buat Virginia, dan mengajaknya traveling. Pada masa itu, traveling adalah cara orang untuk membina hubungan. Awalnya tentu Virginia menolak hubungan itu. Bagaimana pun ia merasa Leonard bukan sekadar suaminya. Ia adalah pijakannya. Bagaimana terlihat saat ia menyelesaikan Mrs. Dalloway, ia masuk ke ruangan Leonard dengan perasaan berkecamuk (ini dilukiskan secara metafora dengan pintu dan lantai yang tiba-tiba ditumbuhi tanaman merambat). Ia kemudian bertanya bagaimana pendapat Leonard dengan naskahnya. Dan Leonard selalu menjawab dengan penilaian yang membesarkan hatinya.

Namun penolakan itu membuat kerapuhan Virginia mulai nampak. Bagaimana pun, Virginia selalu memandang Vita sebagai seorang yang berani. Ini begitu berbeda dengannya. Sehingga pada akhirnya Virginia tak lagi bisa menolak kehadiran Vita.

Dalam beberapa data yang saya dapat, hubungan keduanya ternyata berlangsung hampir 10 tahun. Walau pada akhirnya Vita –yang merupakan petualang sejati- pada akhirnya ia tertambat lagi pada seorang yang lain. Namun di masa kebersaman keduanya itulah, keduanya mencapai puncak dari karir kepenulisannya. Seorang pengamat bahkan mampu mencari bagaimana keduanya saling mempengaruhi. Karena walau bagaimana pun, mereka terus berhubungan sebagai teman, sampai kematian Virginia.

Konon, di novel The Lighthouse, Virginia mengabadikan saat-saat kesendiriannya menunggu Vita yang selalu berpergian ke luar negeri. Namun di novel Orlando, sebuah biografi-lah Virginia menulis sepenuhnya tentang sosok Vita. Di situ ia menciptakan tokoh Orlando –dengan latar Roman yang disukai Vita–  seorang laki-laki yang tiba-tiba bangun tidur dan menjadi seorang perempuan. Virginia bahkan membayangkan sendiri Vita yang mengucapkan narasi novelnya. Virginia bahkan meminta foto Vita dengan bahu yang nampak terlihat. Ini tentu membuat keluarga Sackville-West marah. Vita sendiri awalnya merasa ragu. Namun saat buku itu terbit, ia ternyata sangat menyukainya. Ia bahkan menyebutnya: the wisest riches book that I ever read. Vita tentu tak berlebihan, karena di novel inilah nama Virginia semakin ternama. Penjualannya konon melebihi semua buku-buku yang pernah diterbitkan sebelumnya.

Vita sendiri banyak menulis tentang Virginia. Yang paling jelas adalah dalam novel Family History. Tokoh Viola and Leonard Anquetil tak bisa dibantah adalah tokoh fiksi dari Virginia dan Leonard Woolf.

Ah, sejak lama saya selalu berusaha menonton film-film tentang penulis, Vita & Virginia termasuk satu yang saya suka. Film ini mudah sekali disukai, karena saya bisa mengetahui secara jelas proses bagaimana naskah-naskah besar itu tercipta di kepala Virginia dan mulai ditulisnya. Saya yakin, kamu akan menyukainya. Terlebih lagi, kamu juga pasti akan langsung mencari buku-buku Virginia. Toh di Indonesia, beberapa buku Virginia yang sudah pernah diterbitkan. Tapi percayalah, itu dulu. Sekarang, hanya buku Senin atau Selasa dari penerbit bukuKatta yang ada. Tentu buku itu bisa langsung dipesan. Namun sekadar pesan, kalau kamu pembaca yang manja, sebaiknya urungkan saja niat itu. Buku ini sama sekali bukan buku yang mudah. Ini buku di mana imajinasi harus ada dalam posisi sebebas-bebeasnya untuk menafsirkannya. Kamu berani?