“Bisakah kamu… tidak memanggil ibu… ibu guru lagi?” suara Ibu Guru Isara terdengar pelan.

Kali ini kutatap Ibu Guru Isara dengan tatapan tak mengerti. Dan ia ternyata membalas tatapan itu dengan tatapan matanya yang teduh.

Ibu Guru Isara melanjutkan, “Sudah bertahun-tahun berlalu. Ibu sudah bukan lagi gurumu. Dan kamu… juga bukan lagi murid Ibu…”

Aku masih terdiam.

“Apa… ini berlebihan?” tanya Ibu Guru Isara saat melihat aku masih saja diam.

Aku menggeleng.

Namun saat aku mulai menunduk untuk membereskan kapas-kapas di lantai, saat itulah kurasakan dua telapak tangan Ibu Guru Isara menyentuh dua sisi pipiku, membuatku –mau tak mau– kembali menengadahkan kepala, menatapnya.

Sejenak kudengar jarum detik yang terus bergerak: tak… tak…. tak… dan kami masih saja saling menatap. Gema lagu Kairo yang tadi kami dengarkan seperti kembali menggema, lebih pelan, dan nyaris tak terdengar…

Ibu Guru Isara tiba-tiba sudah menunduk dengan gerakan perlahan mendekati wajahku…

Waktu seperti berhenti, seluruh yang bergerak di sekitarku juga seperti berhenti: detik jam dinding tadi… suara serangga malam.. bahkan tetes air di keran bak mandi… semua berhenti saat bibir Ibu Guru Isara menyentuh bibirku.

Kami sudah berciuman dalam kelembutan. Baru kusadari saat itu, betapa lembutnya sebuah bibir, dan aku tak bisa mencari persamaan apa pun di dunia ini yang bisa lebih lembut dari pada bibir.

Kelembutan itu yang kemudian menyebarkan rasa hangat di bibirku, dan menjadi aliran listrik yang langsung menyebar di seluruh tubuh. Bibirku yang awalnya diam dan pasrah, tiba-tiba saja sudah bergerak, membalas ciuman itu. Lebih dalam. Namun sayangnya, semua pikiran tentang semua yang bergerak berhenti di sekitarku itu, ternyata memang hanya ilusi, atau harapan. Pada kenyataannya semua tetap bergerak, termasuk jarum detik: tak… tak… tak…

Ibu Guru Isara melepas ciumannya, dan kembali membuat jarak di antara wajah kami. Namun aroma tubuhnya, helai-helai rambut di wajahnya yang lepas dari ikatannya dan desah napasnya yang berjeda: seperti telah membuatku kembali ingin melanjutkan ciuman itu.

Hanya saja dua telapak tangan Ibu Guru Isara masih di pipiku, dan ini membuat gerakanku seperti tertahan. Namun kemudian kurasakan dua telapak tangan itu seperti menarikku perlahan, membuatku bergerak kembali mendekat ke arahnya, seiring tubuh Ibu Guru Isara yang merebah di pembaringan….

***

Beberapa tahun sebelumnya, Gara Pamungkas jatuh cinta pada guru barunya, Ibu Guru Isara. Walau awalnya merasa itu bukan sesuatu yang pantas, namun semua hal yang ada di sekitarnya seperti tertaut dengan Ibu Guru Isara, mulai saat motor Ibu Guru Isara bocor, lalu saat Ibu Guru Isara membuat sebuah klub buku, menjadi guru pengganti pelajaran renang, hingga saat Gara pingsan karena terkena bola dan Ibu Guru Isara mencoba memberikan pernafasan buatan.

Ini membuat hari-hari Gara Pamungkas selalu dipenuhi dengan rasa bimbang. Saat waktu kelulusan sebentar lagi datang, dan kawan-kawan sekelasnya tengah berencana memberikan kejutan ulang tahun pada Ibu Guru Isara, Gara akhirnya memutuskan untuk mengungkapkan perasaannya tepat di hari istimewa itu…

***

Klik untuk membaca:

kbm.id/book/detail/92c60fcc-dc47-4821-9f4f-c9dc817aa192