Karena hari Sabtu kemarin begitu sibuk, sampai lupa membeli Koran Tempo. Untunglah menjelang sore, ada notifikasi di Istagram saya dari mas Ginanjar Teguh Iman (twitternya di @ginteguh ) tentang gambar ini.
Makasih ya mas… 🙂
Karena hari Sabtu kemarin begitu sibuk, sampai lupa membeli Koran Tempo. Untunglah menjelang sore, ada notifikasi di Istagram saya dari mas Ginanjar Teguh Iman (twitternya di @ginteguh ) tentang gambar ini.
Makasih ya mas… 🙂
Tapi tentu aku tak akan melakukannya sendiri. Aku terlalu cerdas untuk melalukan hal seperti itu dengan tanganku sendiri. Aku merasa itu cara yang barbar, dan aku tak mau terlihat barbar. Aku akan bermain cantik. Toh, aku tetap harus menjaga diri. Bagaimana pun selama ini semua orang memandangku dengan rasa kagum. Tanpa mereka perlu tahu; selalu ada sisi buruk dari segala kebaikan…
– Aku yang Pertama
Lakon Hidup: belum update
Kliping Sastra Indonesia : belum update
Lakon Hidup: belum update
Kliping Sastra Indonesia: http://id.klipingsastra.com/2016/11/pohon-buku.html
Dulu sekali, kalau ingatanku tak keliru, hidupku adalah pesta dansa di mana setiap hari menyingkapkan diri, di mana setiap anggur mengalir…[1]
Ini adalah malam yang sempurna. Komandan tengah pergi ke luar kota dengan membawa beberapa serdadu. Sedang Hendrick serta Vromme –yang satu ruangan denganku di bangsal paling timur ini- tengah demam. Sejak siang tadi, mereka hanya meringkuk di atas dipan, tidur seperti kucing malas. Kupikir aku tak akan menemukan hari lebih baik, selain hari ini. Jadi langsung kuputuskan, malam ini juga, aku akan pergi dari tangsi terkutuk ini.
Aku tak mengenal kota ini, dan tak ingin tahu pula. Namun kudengar dari Hendrick -yang sepertinya paling menikmati kedatangannya di sini- kota ini bernama Salatiga. Aku tentu tak harus peduli. Kota ini kupikir belum layak disebut kota. Waktu tiba di benteng Willem I, dan melihat sekelilingnya, aku sama sekali tak melihat bangunan besar yang mencolok selain rumah residen. Hampir semua rumah yang ada masih berdinding kayu, hanya satu-dua rumah yang berdinding batu bata. Selain itu, aura primitif masih begitu terasa. Laki-laki hanya bertelanjang dada, dan perempuan hanya mengenakan kain ditubuhnya. Mereka dengan santai berseliweran di sudut-sudut jalan. Lanjutkan membaca “Cerpen Pelarian!, di Majalah Basis November 2016”
Komentar Terbaru