Yang terbayangkan oleh saya tentang Istanbul adalah sebuah nama yang indah. Dulu saat menjadi mahasiswa arsitektur saya pernah berkirim surat ke kedutaan Turki untuk meminta buku-buku tentang Turki. Kebiasaan itu sudah saya lakukan sejak SMA, namun baru negara-negara ternama saja yang saya kirimi. Dari situ biasanya saya mendapat kiriman buku-buku tentang negara-negara tersebut. Untuk surat ke Turki, karena saya sudah mengenalkan diri sebagai mahasiswa arsitektur, saya mendapat banyak buku-buku tentang arsitektur Turki, khususnya Istanbul. Sayangnya buku-buku itu sekarang entah ke mana.
Sementara perkenalan saya dengan Pamuk sebenarnya juga sudah sejak lama. Waktu itu saya membaca The White Castle, saat buku itu baru dirilis edisi Indonesianya. Namun saya merasa gagal membacanya. Buku itu memiliki paragraf-paragraf panjang nan gemuk yang sangat miskin dialog. Alurnya pun begitu lambat, sehingga membuat saya berkali-kali kehilangan kosentrasi dan mengulang lagi beberapa halaman sebelumnya. Saat selesai menamatkannya, saya merasa malu, menyadari saya ternyata bukanlah pembaca Pamuk. Waktu itu, seorang teman mencoba menghibur. Katanya saya salah memilih buku. Buku The White Castle memang dibuat Pamuk dengan gaya yang berbeda dari biasanya. Katanya, ia sedang mencoba-coba gaya postmodern.
Saya diam saja. Walau tak terlalu sependapat, saya tak membantahnya. Saya pikir permasalahan utama novel itu memang pada alurnya yang lambat. Untunglah Buletin Sastra Pawon mengagendakan diskusi terbuka Orhan Pamuk, sehingga saya kembali berhubungan dengan Pamuk. Kali ini karena waktu yang pendek, saya memilih Istanbul untuk saya baca. Lanjutkan membaca “Bagaimana Penulis Mengenang tentang Kota? Catatan Seusai Membaca Istanbul – Orhan Pamuk”
Jadi dulu, saat bulan masih cukup dekat dengan bumi, orang2 menulis harapan2 mereka di carik kertas dan menerbangkannya ke angkasa. Bertahun-tahun kemudian kertas2 harapan itu menumpuk di bulan. Seorang ilmuwan berpikir apa yg sebenarnya yg ditulis orang2 itu. Ia berniat menelitinya. Hal pertama yg hrs dilakukannya adalah mengambil kertas2 harapan itu. Maka bersama para sahabatnya seekor anjing bernama galileo nuri bernama davinci, dan tikus bernama archimedes, ia mulai membuat proyek besarnya: sebuah tangga ke bulan…
– cerpen tangga ke bulan, media indonesia
Tautannya di KLIPING SASTRA: http://id.klipingsastra.com/2015/07/tangga-ke-bulan.html
Tanggal 29 Juni 2015 lalu saya diundang Pemkot Solo untuk pertemuan dengan Komisi X dalam rangka RUU Sistem Perbukuan. Undangan itu tak terlalu jelas, namun yang pasti Pemkot mengundang saya sebagai perwakilan penulis. Maka datanglah saya bersama beberapa teman dari Buletin Sastra Pawon. Saya cukup kaget, ternyata di sana draft RUU sudah dibagi, Komisi X hanya minta kami (perwakilan penulis, penerbit, tokoh buku, dosen-dosen, perpustakaan, dll.) membaca dan merevisi draft undang-undang tersebut. Tentu dalam kondisi dan waktu yang singkat seperti itu, sangat sulit mendalami RUU seperti itu. Apalagi yang tertulis terasa umum dan standart.
Saat keluar saya berpikir, jangan-jangan saya hanya menjadi alat untuk pengesahan semata. Walau saat rapat itu saya sempat bicara di depan mereka tentang apa permasalahan yang dihadapi penulis dari kacamata saya. Tapi saya tak terlau yakin apa ucapan-ucapan saya itu di dengar.
Maka keesokan harinya, apa yang saya ungkap saat itu, saya tulis dan saya kirimkan pada email komisi X. Dan setelah saya pertimbangkan, saya kemudian memutuskannya untuk memosting di blog saya. Setidaknya saya sekadar ingin mempertanggungjawabkan kehadiran saya saat itu.
Demikisan surat yang saya tulis:
Solo, 30 Juni 2015
Kepada Yth.
Anggota Komisi X DPR Pusat
di tempat
Salam,
Saya Yudhi Herwibowo, yang sehari sebelumnya datang di pertemuan RUU Sistem Perbukuan di Balaikota Solo. Saya datang mewakili penulis. Waktu yang pendek membuat saya tak bisa banyak bicara. Jadi hari ini saya putuskan untuk menuliskan segala kondisi yang diinginkan penulis. Lanjutkan membaca “Surat Penulis untuk Komisi X DPR RI”
Beberapa tahun silam, saya dan kawan-kawan pernah bertemu dengan Radhar Panca Dahana di Taman Budaya Jawa Tengah. Waktu itu kami bicara tentang banyak hal. Namun satu yang kemudian saya ingat, kurang lebih kalimat Bang Radhar, ‘Fakta berlari di depan kita, dan fiksi seperti hanya jalan perlahan’. Karena saya sepertinya satu-satunya prosais di pertemuan itu, saya banyak berpikir tentang kalimat itu.
Coba lihat berita-berita saat ini: mayat gadis bergelang festival, misteri batu berongga di tas akseya, dll.
Dulu, saat Flaubert menulis Madame Bovari yang bercerita tentang seorang gadis bangsawan di abad pertengahan, yang menikah dengan seorang bangsawan dan menjalani hidup yang kaku, ia kemudian memutuskan berselingkuh dengan laki-laki lain. Di masa itu perselingkuhan bangsawan –apalagi perempuan- sangat tabu dibicarakan secara terbuka karena merupakan sebuah aib besar. Faubert membantah anggapan itu, ia kemudian menulisnya sebagai novel. Lanjutkan membaca “Bermain-main dengan Ide (Materi Workshop Penulisan Cerpen Sehari di Balai Soedjatmoko Mei 2015)”
Komentar Terbaru