Cari

Yudhi Herwibowo

mencoba terus menulis…

bulan

Juni 2021

Bincang Sastra: Dari London, 20 Tahun Memercikkan Sastra Indonesia

UNDANGAN TERBUKA”

Dari London, 20 Tahun Memercikkan Sastra Indonesia”

20 tahun silam, wartawan sekaligus penulis Liston P Siregar membuat situs daring ceritanet.com. Itu masa-masa di mana situs daring ataupun media sosial belum sedahsyat sekarang. Mengutip salah seorang sahabat karibnya, Sanie B Kuncoro, Liston membuat dan terus merawat situs daring itu dengan semangat meluap-luap. Demi menampung tulisan siapa saja, dengan tema apapun. Meski kini menetap di London, Liston tak pernah kehabisan daya merawat sastra Indonesia.Diskusi Kecil Pawon sudah lama ingin mendengar kisah Liston. Setelah sempat tertunda karena satu dan lain hal, kami sangat bahagia kesepakatan ngobrol itu akhirnya tiba.

Dengan hati hangat, kami mengundang kawan-kawan untuk turut serta dalam obrolan “Dari London, 20 Tahun Memercikkan Sastra Indonesia” bersama Liston P. Siregar dan Yudhi Herwibowo.Mari pasang alarm gawai:

Hari, tanggal: Sabtu, 5 Juni 2021Waktu: 19.30 WIB

Disiarkan langsung dari Instagram @diskusikecilpawon

Kisah Terpuruknya Roald Dahl dalam To Olivia

Memang sulit mengalahkan nama besar pengarang sekaliber Enid Blyton, bahkan oleh Roald Dahl sekalipun. Di masa sulitnya, istrinya pernah berkata padanya, saat keduanya bertengkar, “Anak-anak suka cerita Enid Blyton, bukan bualan yang keluar dari kepalamu!”

Tentu kini, kebesaran nama Roald Dahl tak lagi diragukan. Kita akan selalu mengenang kisah-kisah: Willy Wonka and the Chocolate Factory, Matilda, The Witches, The BGF, dan sebagainya. Terutama yang mungkin paling heboh (dan tetap menyenangkan menontonnya walau kita sudah berumur :P) adalah Charlie and the Chocolate Factory, di mana Johny Deep memainkan peran sebagai Willy Wonka.

Itulah kenapa kisah tentang Roald Dahl tak henti dibuat. Seperti di tahun ini, saat film To Olivia (2021), dirilis. Walau tak bergaung berlebihan, tapi pembaca Roald Dahl dari generasi ke generasi, tetap menyambutnya dengan gembira.

Saya ingat ada masa pembaca cilik di Indonesia dijejali karya-karya Roald Dahl. Penerbit Gramedia rajin mencetak buku-buku Roald Dahl, dan mencetak ulangnya berkali-kali dalam 2 sampai 3 dekade ini. Walau di tahun-tahun ini mereka mulai berhenti menerbitkannya, penerbit lain seperti Nourabooks melanjutkannya.

Film To Olivia adalah sepenggal kisah paling berat dalam hidup Roald Dahl dan istrinya. Ini sedikit berbeda, selama ini film-fim biopic tentang Roald Dahl selalu berkaitan dengan karya-karyanya, seperti dalam Roald Dahl’s Esio Trot. Beberapa film bahkan menceritakan Roald Dahl bersama karakter-karakter ciptaannya.

Film To Olivia ini bersetting tahun 1950-an sebelum karya Charlie and the Chocolate Factory dibuat. Roald Dahl |(diperankan Hugh Bonneville|) dan istrinya Patricia Neal (diperankan oleh Keeley Hawes), yang merupakan seorang artis, tinggal di sebuah pedesaan, bersama tiga anak mereka: Olivia, Tessa dan Theo.

Olivia adalah gadis kecil yang riang dan yang selalu ingin tahu. Imajinasinya juga seperti ayahnya, sehingga ia suka sekali mendengar kisah-kisah ayahnya. Itulah mengapa Olivia senang mengikuti kemanapun ayahnya pergi. Bahkan ketika ia sakit dan ayahnya menceritakan kisah-kisah untuknya yang tak disetujui Tessa, ia tetap berkata untuk menghibur ayahnya, “Semua akan membacanya, Ayah.”

Roald Dahl punya sebuah bilik kecil, tempatnya menulis. Biasanya ia duduk di kursi sofanya, dengan beralas papan, ia menulis cerita dengan pensil. Seorang tokoh rekaannya akan muncul di depannya (kelak saya baru tahu siapa dia). Ini sebenarnya teknik yang umum untuk melukiskan proses kreatif seorang penulis. Tapi film ini tak terlalu mengekspos imajinasi seperti itu.

Kisah film To Olivia sebenarnya dimulai saat Olivia sakit dan kemudian meninggal dunia. Gadis kecil itu meninggalkan luka yang dalam bagi keluarga, terutama pada Roald Dahl. Kesedihan membuat pertengkaran begitu mudahnya datang di anatar pasangan itu. Kadang saya merasa, ada adegan yang terasa sedikit berlebihan. Misal saat Roald Dahl meninggalkan Tessa di dapur dengan kompor menyala, dan ia kemudian hanya meringkuk di kasurnya, dan membiarkan dapur terbakar. Saya pikir ini sedikit berlebihan. Seakan-akan ia tak berpikir, sudah kehilangan satu anaknya, apa ia ingin kehilangan anaknya yang lain? Tapi tentu orang sedih mah bebas!

Satu lagi, saat Roald Dahl marah-marah selepas menunjukkan naskah barunya pada istrinya, Pat. Secara jelas Pat menunjukkan kesukaannya pada naskah itu. Roald Dahl sibuk dengan pikirannya sendiri, dan itu seperti membuat dialog-dialoh bagi dirinya sendiri, yang tentu kemudian diakhiri dengan kemarahannya.

Renggangnya hubungan keduanya membuat Roald Dahl membawa Pat ke salah satu gurunya, yang merupakan seorang pendeta. Di scene ini, saya pikir adalah adegan paling lucu. Saat membayangkan Olivia di surga, ia akan bergembira di taman yang indah bersama binatang-binatang peliharaannya, serta merta guru Roald Dahl malah berkata, tak ada binatang di surga, karena mereka punya surganya sendiri. Roald Dahl dan Pat pun hanya bisa meninggalkan gurunya dengan tawa terbahak-bahak tak pernah menyangka bila tak ada anjing di surga. Tawa ittu kemudian disusul dengan tangisan kesedihan.

Pat merasa suaminya telah terjebak terlalu dalam pada kesedihannya sendiri, sedangkan ia sendiri mencoba untuk move on. Itulah mengapa ia kemudian menerima tawaran akting dari Hollywood. Walau itu membuat hubungannya dengan suaminya semakin renggang.

Film ini punya konsep berbeda dengan film-film tentang pengarang besar lainnya. Tak banyak proses penciptaan karya sang pengarang, atau pun membicarakan karya-karyanya. Ini bagai film drama biasa yang bertema kehilangan seseorang, dengan latar tokoh seorang pengarang. Saya bahkan tak tahu di saat film berlangsung buku apa saja yang sudah ditulis Roald Dahl, dan buku apa yang sedang dibuatnya. Memang ada beberapa clue, seperti tentang persik ajaib, atau celetukan Olivia dan Tessa tentang sesuatu yangg kelak kita kenali ada di karya Roald Dahl, sungai berisi coklat, permen yang meledak rasanya di mulut, atau nama-nama aneh yang kerap menempel di karya-karya Roald Dahl. Tapi tak pernah dijelaskan semuanya dengan jelas.

Baru di akhir film, saya tahu naskah apa yang tengah dibuat Roald Dahl di saat-saat beratnya itu. Karya yang sampai hari ini menjadi masterpiecenya.

Lepas dari segala kesederhanannya, To Olivia tetaplah film yang menyenangkan. Benar-benar membuat saya ingin kembali membaca Mathilda, Peach Ajaib, dan yang lainnya…

Dua Film Perang Korea yang Patut Ditonton

Sejujurnya, film perang selalu bukan jadi pilihan saya. Tapi herannya, ada beberapa film perang yang jadi favorit saya sampai sekarang. Tentu Platoon adalah yang pertama, walau sudah bertahun-tahun lalu nontonnya dan sudah tahu tentang kepalsuan perang Amerika di Vietnam, ceritanya tetap masih terbayang dengan baik. Mungkin karena beberapa kali diulang di televisi. Saving Private Ryan salah satu lainnya. Adegan Tom Hank menembaki tank saat ia sekarat, selalu membuat merinding. Dan tentu yang baru-baru ini saja, film 1917. Ini adalah favorit karena teknik pengambilan gambarnya yang menerus tak pernah terbayangkan oleh otak saya yang kecil.

Namun saya sadar selama ini rasanya selalu menonton film perang versi barat. Jarang sekali saya menonton versi lainnya. Padahal negara-negara lain juga membuat film perangnya sendiri. Termasuk Korea. Mereka mungkin sudah khatam membuat film-film drama, maka itu genre lain berusaha diraihnya. Satu yang mencolok tentu animasi dan perang.

Di sini saya sekadar mau cerita tentang dua film perang yang saya pikir layak dibicatakan Yang pertama The Battle of Jangsari (2019) dan The Battle: Roar to Victory (2019).

Lanjutkan membaca “Dua Film Perang Korea yang Patut Ditonton”

Melihat Daniel Day Lewis Muda dalam The Unbearable Lightness of Being

Beberapa hari lalu gak sengaja saya melihat cuplikan film There will be Blood di YouTube. Saya baru sadar kalau ternyata sudah lama banget gak lihat film-film Daniel Day Lewis. Terakhir sepertinya nonton Panthom Tread, dan merasa biasa saja, tak sedasyat There will be Blood apalagiThe Gangs of New York. Makanya saya cari-cari info dan ternyata baru saya tahu kalau Daniel Day Lewis sudah menyatakan pensiun dari dunia akting sejak 2017. Hikz, telat banget saya.

Buat tombo gelo saya mencari film-film lama beliau, yang mungkin menarik. Dan saya kaget melihat film The Unbearable Lightness of Being. Jelas film ini diangkat dari naskah novel Milan Kundera. Bukunya sudah diterbitkan penerbit Gading beberapa tahun lalu dengan cover bergambar wajah Daniel Day Lewis. Sialnya dulu saya tak mengenali cover buku itu, karena memang wajah Daniel saat muda agak berbeda, mirip-mirip David Copperfield…. 🙂

Lanjutkan membaca “Melihat Daniel Day Lewis Muda dalam The Unbearable Lightness of Being”

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑