IMG20150911001113Beberapa tahun lalu, dalam sebuah acara sastra di Solo, ada seorang peserta bertanya pada saya, siapa penulis muda yang menurut saya akan muncul di dunia sastra di Indonesia? Waktu itu keadaan sastra Indonesia masih berbeda dengan sekarang. Koran-koran masih cenderung memuat penulis bernama besar, jadi saya merasa pertanyaan itu sangat visioner. Waktu itu saya menjawab dua nama yang saya kira akan tampil. Salah satunya: Benny Arnas (BA). Saya pikir, kumcer Bulan Celurit Api (BCA) akan menjadi salah satu kumcer yang terus dikenang.

Saya sama sekali tak pernah menyangka, di Ubud Writers and Readers Festival 2010, saya bertemu langsung dengannya. Sejak itulah, saya lebih mengikuti tulisan-tulisannya. Saya membaca cerpen-cerpennya di koran dan membeli buku-buku barunya. Ini menjadi penting, karena dari belasan penulis UWRF di angkatan kami, hanya tersisa beberapa gelintir saja yang masih terus aktif menulis. Sehingga tulisan kawan-kawan itu di media, seperti jadi pelipur kangen buat saya pada mereka. Apalagi terhadap BA. Saya merasa berhutang besar padanya. Gara-gara dia jugalah, saya bisa diundang ke Wordstorm Festival di Darwin tahun 2012. Tapi tentu itu bukan hal penting yang perlu dibahas di sini… 🙂

Dua hari yang lalu saya mendengar buku Cinta Tak Pernah Tua (Cinta), masuk dalam 10 besar Khatulistiwa Award. Saya tiba-tiba merasa harus menulis tentang ini, karena sekian tahun berteman, saya tak pernah sekali pun menulis tentang bukunya. Ini tentu -kalau terus dilanjutkan- bisa menjadi sebuah dosa besar yang tak termaafkan.

Jujur saja, awalnya agak malas juga membaca Cinta. Karena saat melihat cerpen-cerpen dalam daftar isinya, saya merasa sudah pernah membaca sebagian besar ceritanya. Beberapa cerpen bahkan sempat saya komentari melalui pesan singkat.

Saya sempat terjebak menganggap buku ini sebagai kumcer. Baru saya sadari kalau BA tak menulis kata itu di cover depannya. Jadi saya baru tahu kalau ini adalah semacam kumcer berbenang merah, atau menurut istilahnya adalah novel hybrid (?) Ya, seperti 9 dari Nadira dan Surga Sungsang. Hanya saya pikir tak menulisi embel-embel apa-apa di depannya, itu sebuah langkah yang tepat. Sehingga perspektif pembaca tidak terganggu apakah itu cerpen atau novel. Pengelompokan ini kadang memang mencederai sebuah karya.

Tapi membaca judul buku ini membuat pertanyaan-pertanyaan tak penting muncul pada saya, kenapa akhir-akhir ini BA terpaku pada tema cinta? Ini membuat saya sedikit heran. Di sastra, saat banyak penuls suka memosisikan diri pada kemuraman, bahkan kematian, BA malah mengedepankan cinta. Ini seperti penulis remaja saja. Sekadar info, sebelum dan sesudahnya, BA sudah merilis buku jatuh dari Cinta dan Cinta Paling Setia. Apa ini sengaja dilakukannya agar dikenal sebagai pakar cinta, atau ini sekadar ketidaksengajaannya. Tentu ini pertanyaan tak penting kedua yang tak perlu dibahas di sini.

Satu hal yang tak pernah hilang dari BA adalah gayanya yang sangat melayu. Penulis seperti saya, yang sudah sangat beraura Indonesia, akan selalu merasa iri padanya. Cinta tampil dengan sangat luwes. Kisah Samin mengalir bagai babak-babak dalam kehidupannya. Libidonya yang tinggi sehingga selalu ingin kawin, keempat istrinya yang memiliki karakter-karakter yang berbeda, cinta sejatinya yang tak kesampaian, serta anak-anaknya yang mati mendahuluinya. Namun dari 12 cerita yang diangkat, menurut saya hanya 9 yang berbenang merah dengan jelas. Dua cerita benangnya terlalu samar, bahkan satu cerita hanya bisa saya tebak hubungannya. Mungkin, benangnya hijau.

Tapi itu tentu hal tak penting ketiga yang tak perlu dibahas di sini. Karena ketika satu demi satu kisah mulai terbaca, pikiran usil itu akan lenyap begitu saja. BA ternyata menempatkan perkara cinta bukanlah sebagai hal yang sederhana. Ia menjadikannya bagai puzzle yang berserakan, siap disusun, namun beberapa bagiannya hilang, sehingga puzzle yang terbentuk kemudian menjadi tak sempurna.

Tema buku ini secara keseluruhan tergolong sederhana. Padahal biasanya para cerpenis cenderung mencari tema-tema besar untuk dieksplorasi, tapi membaca Cinta, semua seperti dibalikkan. Dimulai dengan cerita tentang sosok Pengelana Mati dalam Hikayat Kami. Cerita ini sebenarnya masuk dalam kategori cerita yang paling biasa-biasa saja di buku ini, tapi posisinya menjadi penting saat dijadikan sebagai prolog dari kisah selanjutnya. Cerita mulai bergerak di cerita kedua, Gulistan. Permasalah semakin menajam di cerita Pohon Tanjung itu Hanya Sebatang dan Muslihat Musim Panas. Sebenarnya di dua cerita ini, secara tema masih merupakan cerita drama keluarga kebanyakan, tapi di tangan BA tema yang sederhana sekali pun sepertinya bisa naik kelas. Coba lihat teks saat ia menggambarkan kesedihan; Kali ini ia tak mampu menahan laju air penyesalan itu keluar dan jatih dari kelopak matanya. Semakin ia kusal matanya, semakin basah matanya. Semakin basah punggung tangannya, semakin basah pipi keriputnya.

Dalam kesederhanaan tema keseluruhannya, BA tetap melakukan beberapa liukan yang kejam di beberapa ceritanya. Dalam Muslihat Musim Panas, kisah perceraian yang sebenarnya runtut dan nampak akan biasa-biasa saja, tiba-tiba dikejutkan dengan ending yang membelokkan semua perspektif yang sudah dibangunnya dengan telaten.

BA juga masih mencoba memberontak dengan keliaran imajinasinya, seperti yang dulu saya kenal di buku BCA. Kisah Senapan Bengkok mungkin mewakili itu, atau dalam Bunga Kecubung Bergaun Susu. Dua cerita itu menurut saya, memberi warna yang mencolok dari buku ini.

Namun satu cerita paling kuat di buku ini adalah Orang Inggris. Ini satu-satunya cerpen yang diambil dari Koran Tempo. Di cerita ini, eksplorasi BA terasa berbeda. Bau sejarah terasa kental. Walau saya tak cukup tahu latar cerita ini, tapi saya kita bisa menikmati perjalanan panjang tokoh Aku dan Charlie, Si Orang Inggris. Konsep pengelanaan dibeberkan cukup runtut dan detail, mengimbangi gejolak pikiran si tokoh Aku. Walau saya tak yakin apa benar-benar seperti itu rute dan keadaanya, tapi BA mampu menyihir saya untuk takjub.

Saat satu persatu cerita selesai dibaca, satu persatu kisah pun mulai terbuka. Sebagai sesama penulis, konsep penulisan seperti ini selalu membuat saya ingin tahu. Saya bertanya-tanya, apakah BA merancang seluruh ceritanya semua secara detail dan menulisnya secara berurutan? Atau ia hanya menulis garis besarnya semuanya, dan mulai menulis acak sesuai keinginannya? Apa pun jawabannya, dalam jeda panjang proses pembuatan buku ini, konstanitas alur yang dibuat BA dalam cerita-ceritanya tetap terjaga dengan baik. Tak ada cerita yang nampak terburu-buru, atau sekadar menjadi pelengkap bagi cerita lainnya. Kematangan BA bolehlah diakui di bagian ini. Saya pikir nalurinya sebagai penghibur kata sudah cukup berjalan. Dalam 12 cerita ini, ia menyebar 3 cerita yang menurut saya paling emosional dalam jeda-jeda yang pas. Cerita-cerita itu ada di cerita kedua, kelima dan kesembilan.

Namun selalu ada celah bagi sebuah buku. Apalagi yang memakai konsep seperti ini. Beberapa karakter yang diciptakan BA terasa tidak cukup stabil. Dalam Bunga Kecubung Bergaun Susu, karakter Muklishin diciptakan dengan sangat menarik. Bagaimana ia seperti mampu membina hubungannya dengan bunga-bunga kecubung yang bagaikan peri-peri. Namun di cerpen berikutnya, Batubujang, karakter ini seperti kehilangan magisnya. Ia lewat bagai cameo yang tak penting, bahkan untuk dibubuhi satu kalimat sekali pun tidak. Saya pikir ini adalah kelemahan buku-buku bergaya novel hybrid seperti ini.

Pamungkas dari catatan ini, saya harus jujur, kalau masih lebih menyukai buku BCA. Namun itu, bukan berarti saya tak menyukai Cinta. Saya pikir Cinta adalah kematangan BA selanjutnya. Ini tetap menjadi naskah yang harus dibaca. Apalagi bila mengingat perjalanan karirnya yang panjang sebagai penulis, di mana di saat yang sama, beberapa cerpenis seangkatannya mulai redup dan ganti profesi. BA sepertinya malah menunjukkan keproduktifan yang luar biasa.

Salut.

***