kelambu_20160430_210936

Hari masih bercahaya, tapi kegelapan seperti telah menelanku dalam kepekatannya. Ruangan ini tiba-tiba terasa begitu sesak. Udara seakan menjauh dari diriku. Membuat napasku tersendat.

Sambil meringkuk di lantai, aku bagai menjadi sosok yang tak lagi berarti. Sangat sesuai dengan apa yang kubayangkan selama ini: aku bagai burung yang tak lagi bersayap, karena sayapku telah kupatahkan sejak dulu.

Sialnya, seperti yang sudah-sudah, keheningan selalu membuatku semakin terjerumus dalam ketakutan. Ia bagai mengulik lubang telingaku dan menggemakan ngiang yang terus berulang, bagai bisikan iblis yang tak pernah berhenti.

Kau akan pulang kan?

Pulang? Aku memejamkan mata kuat-kuat. Kata itu seharusnya sudah kucoret dari kamus hidupku. Tapi semakin aku ingin melupakannya, entah kenapa, kata itu semakin kuatnya merasuk.

Tubuhku tiba-tiba menggigil dengan hebat. Tanpa bisa kuelak, aku mulai terseguk. Suamiku yang sejak tadi duduk di ruang tengah, seakan sengaja memberi waktu untukku sendiri, mulai mendekat. Ia membelai rambutku dengan lembut. Lalu mulai menggendong tubuhku ke arah pembaringan. “Kalau kau tak ingin pulang, tak apa-apa,”  bisiknya.

Kelambu itu hanya ada di kamar nenek. Letaknya di belakang, sedikit memisah dari rumah utama. Sebuah ranjang model lama, yang masih memakai rangka untuk kelambu, terlihat dominan di situ. Ini memang permintaan nenek, karena ia selalu pusing bila mencium bau obat anti serangga.

Sejak dulu aku suka di kamar itu. Saat nenek masih ada, aku kerap bermain di situ. Kami berdua akan berada di atas ranjang dengan kelambu yang dipasang seluruhnya. Biasanya nenek akan mendongeng kisah tentang seorang putri yang terperangkap di istana kelambu.

Tapi sejak nenek meninggal, aku jarang ke kamarnya. Kamar itu kosong sampai sekian lama. Pernah aku mencoba masuk ke sana, namun yang kudapati hanya debu yang bertebaran di mana-mana.

Saat ibu membeli penyedot debu, aku langsung membersihkan kamar nenek. Sejak itulah kuputuskan untuk bermain di situ. Ini untuk menghindari kedua kakakku yang sedang nakal-nakalnya. Mereka kerap mengganggu dengan menendang boneka-bonekaku, atau menyembunyikan mainan lainnya.

Di kamar ini, aku merasa aman. Kedua kakakku tak suka berada di sini.

Sampai suatu kali, ayah datang ke kamar ini. Ia sebenarnya jarang pulang karena bekerja di luar kota. Tapi hari ini sepertinya ia baru pulang dari sebuah pesta. Ada aroma menyengat yang sangat kubenci. Awalnya aku hanya mengacuhkannya. Namun saat ia duduk di tepi ranjang, ia menyuruhku mendekat. Katanya, ia akan menceritakan sebuah dongeng. Tapi saat ia mulai melepaskan seluruh ikatan kelambu, aku tiba-tiba seperti terperangkap di dalamnya!

 

Kota itu sudah tak ada lagi di hidupku. Aku seperti telah membuatnya hilang dari peta. Aku bahkan enggan menyebut namanya. Ketika orang-orang bertanya dari mana asalku, aku akan menyebut sebuah nama kota lain, yang begitu jauh darinya.

Seperti kota yang kutinggali sekarang. Letaknya juga berlawanan dari kota asalku dulu. Aku mencoba menikmatinya. Walau sebenarnya kota ini sama sekali tak menarik. Suamiku sendiri sebenarnya hanya pindah untuk sementara kerena menggantikan kawannya yang resign. Namun saat ia akan dikembalikan ke kota asalnya, aku memintanya bertahan di sini.

“Karena kota ini… jauh dari kotaku,” aku menyebutkan alasannya.

Dan ia setuju. Walau aku sebenarnya tak pernah menceritakan secara detail tentang masa laluku, ia selalu mencoba mengerti. Dulu, saat kami berkenalan, aku sudah memintanya untuk tak mendekatiku. Tapi keteguhannnya membuatku akhirnya menerimanya. Saat ia melamarku, aku hanya mengatakan bila aku memiliki masa lalu yang begitu kelam, hingga sampai membuatku begitu putus asa dan mencoba bunuh diri berkali-kali.

Namun itu tak mengurungkan niatnya menikahiku. Maka aku menikahinya dalam keheningan. Hanya ada keluarganya dan seorang kenalanku yang datang sebagai saksi.

 

Aku pernah begitu ingin mati!

Kupikir mati adalah jalan baru yang harus kutempuh bila aku mendapati kehidupanku sekarang begitu buruknya. Semacam, kesempatan kedua.

Dan itu, sepertinya menjadi kenangan paling kuat yang tersisa di masa itu. Aku masih ingat bagaimana aku mulai menaiki pohon tinggi itu dan terjun dari sana. Aku masih ingat bagaimana aku mulai mengiris nadiku dengan pisau dapur yang baru dibeli ibu. Aku juga masih ingat bagaimana aku menenggak cairan serangga itu dengan 3 kali teguk.

Tapi aku tak pernah mati karena itu semua. Aku hanya sempat patah kaki, atau koma dalam beberapa hari saja. Tapi sejak itulah, orang-orang menganggapku gila. Terlebih saat aku mulai kerap berteriak-teriak histeris hanya karena melihat kelambu di kamar nenek.

Ayah kemudian membawaku ke rumah sakit jiwa. Aku masih ingat saat ayah akan memasukkanku ke dalam mobil, aku meronta sekuat tenaga. Kugigit tangannya hingga berdarah. Kedua kakakku yang mencoba memegangi tanganku, juga kucakar berkali-kali, hingga membuat kuku-kukuku patah.

Sungguh, saat itu aku merasa hanya seorang diri saja di dunia ini. Terlebih saat aku melihat ibu, hanya memandangiku dari jauh, dengan diam dan ketakutan.

 

Beberapa hari yang lalu, secara mengejutkan, kakak pertamaku datang ke rumah.

Saat membuka pintu, aku nyaris melupakannya. Wajahnya sudah tak lagi bisa kuingat. Hanya luka di dahinya saja yang langsung mengingatkanku padanya. Aku benar-benar terkejut. Tak pernah kubayangkan ia datang menemuiku.

“Aku mendapat alamat dari suamimu,” ujarnya.

Aku mencoba menghindari pandangannya. Sama sekali tak ada niat sedikit pun untuk mempersilahkannya masuk.

“Sudah begitu lama,” ujarnya pelan, “kami tak mendengar kabar darimu. Selama ini kami tak pernah tahu, apa yang membuatmu pergi begitu saja. Tapi tentu aku bisa menebak. Mungkin membawamu ke rumah sakit jiwa itu, adalah sebuah kesalahan…”

“Mau apa kau kemari?” aku memotong dengan nada dingin, tak ingin mengingat masa lalu yang coba diungkitnya.

“Kedatanganku kemari, sekedar memberi kabar, kalau ibu mulai sakit-sakitan. Berkali-kali ia memintaku untuk mencarimu.”

Aku mematung. Sejenak bayangan ibu hadir padaku. Namun semua tentang kediamannya. Maka aku buru-buru mengenyahkan bayangan itu dari kepalaku.

“Kata dokter, waktunya tak lama lagi. Ini mungkin… saat terakhir buatmu bertemu dengannya.”

Ucapan itu seperti terdengar begitu jauh di telingaku.

“Kau akan pulang kan?”

Aku tak menjawab. Tubuhku tiba-tiba terasa begitu dingin.

“Apakah…” kata-kataku seperti keluar tanpa bisa kukontrol, “Kamar nenek masih di sana?”

Kakakku menatap tak mengerti, “Ya, tentu saja masih di sana.”

“Apakah ranjang dengan kelambu putih itu, masih ada?”

“Kalau itu, tentu sudah tak ada. Kamar itu sudah lama disewakan. Ranjang dan barang-barang nenek lainnya sudah dijual bertahun-tahun lalu. Kenapa kau menanyakan itu?”

Aku tak menjawab. Tanpa sadar tanganku meremas ujung bajuku.

“Kau akan pulang kan?”

Sungguh, suaranya nyaris tak lagi bisa kudengar.

 

Dulu, sewaktu aku belum menikah, pernah ada surat-surat yang datang padaku. Surat-surat yang di tulis ibu dan kakak-kakakku. Mereka kerap mengabarkan keadaan ayah yang sudah sakit-sakitan.

Aku tak pernah membaca surat-surat itu sampai selesai. Hanya memegangnya saja, tanganku sudah bergetar hebat. Jadi yang selalu kulakukan adalah mengambil korek api dan membakar surat itu sesegera mungkin. Api yang melumat dan kertas yang mengabu hitam sedikit bisa menenangkanku.

Sampai kemudian ada surat yang mengabarkan kalau ayah sudah meninggal. Aku tetap tak menggubrisnya. Kupikir hubunganku dengan mereka semua memang sudah selesai.

Entahlah, kemarahanku seerti tak pernah reda. Aku ingat, sejak ayah mulai memasukkanku ke rumah sakit jiwa, tak ada dari mereka yang mencoba membelaku. Mereka memang sempat menengokku beberapa kali, tapi kupikir itu hanya sekedar basa-basi.

Sejak itu, keinginanku untuk bertahan hidup terasa menguat. Akan kubuktikan kalau aku tak akan hancur karena ini semua. Tak lebih setahun, aku bisa meyakinkan dokter kalau aku sehat. Dan ketika aku diperbolehkan keluar, aku tak lagi pulang ke rumah. Kuhapus jejakku di sana.

Aku tak tahu harus kemana. Aku hanya mengikuti jalanan yang berlawanan dari arah menuju kotaku. Saat itulah aku masuk ke masa paling pahit dalam hidupku. Hal-hal buruk yang sebelumnya tak pernah kubayangkan: melacurkan diri untuk bertahan hidup. Sampai aku kemudian mendapat kerja dan bertemu dengan suamiku.

Kini, selepas kedatangan kakakku, suamiku berucap pelan, “Kupikir, sudah waktunya kau pulang.”

Aku tak percaya dengan ucapannya. Beberapa hari lalu, ia sendiri yang mengatakan aku tak perlu pulang bila aku tak mau.

“Bagaimana pun… ia tetap ibumu.”

Aku menggeleng dengan gerakan perlahan. “Dulu, sudah kukatakan padamu bukan, sayapku telah kupatahkan dan aku tak lagi bisa kemana-mana?”

Suamiku menyentuh tanganku, dan menciumnya dengan lembut, “Kau tak perlu sayap untuk pergi ke sana. Aku yang akan membimbing setiap langkahmu.”

 

Kakiku terasa begitu berat. Ada pengingkaran yang terus memberontak dalam hatiku. Setiap langkahku terasa gamang, seakan menjejak lumpur yang hendak menghisapku. Untunglah suamiku terus ada di sisiku.

Aku bisa berdiri memandang semua yang ada. Ingatanku seperti terlempar pada masa lalu. Aku masih mengingat semuanya. Tak banyak yang berubah dari rumah ini. Pagar berwarna hitam. Pohon perdu yang berjejer di samping. Pintu besar berwarna kusam. Sungguh, aku seperti kembali menjadi gadis kecil yang berlarian kesana-kemari.

Lalu kulihat kedua kakakku menghampiri. Keduanya menatapku tak percaya.

“Aku bersyukur kau datang,” ujar kakak pertama dengan tatapan begitu lega. “Ada yang harus kubicarakan denganmu,. Ini ucapan ibu sebelum ia pergi. Ia meninggalkan pesan yang diucapkannya berkali-kali: ia ingin meminta maaf padamu atas semua yang sudah dilakukannya selama ini.”

Kurasakan suara kakak tercekat, “Ia bahkan ingin… bersujud padamu atas kesalahan-kesalahan itu.”

Aku terdiam. Masih mencoba menjadi batu yang keras. Namun entah kenapa, aku malah merasakan ujung mataku mulai terasa basah.

Sungguh, aku mencoba tak menunjukkan reaksi apa-apa. Tapi entah mengapa, bayangan itu, bayangan yang benar-benar ingin kuhapus dari kepalaku selama ini, muncul menyeruak dengan kuatnya. Itu bayang-bayang dari balik kelambu itu, saat ayah mulai membaringkanku dan aku mulai merasakan rasa perih di selangkanganku.

Saat itu, aku lihat ibu berdiri di ambang pintu.

Ia hanya diam, dan berlalu.

***

http://jabar.tribunnews.com/2016/05/01/kelambu