Cari

Yudhi Herwibowo

mencoba terus menulis…

bulan

November 2012

[Un]affair By Yudhi Herwibowo, review Annisa Anggiana di My Book Reviews Corner

“KenImageapa sebuah lagu bisa diterima di semua tempat, di semua negara? Musik memang universal, tapi kisah dibalik lagu itulah yang membuatnya semakin diterima. Itu artinya sebuah kejadian seperti dalam lagu itu ternyata terjadi pula di tempat-tempat lain. Jadi seseorang seharusnya tidak perlu terlalu sedih akan sesuatu, karena di tempat lain pun, ada orang yang bersedih karena hal yang sama.”

Aaaakkhh ternyata Yudhi Herwibowo kalo menulis romance baguuuss ^_^ hehe.. Udah ada feeling waktu baca Perjalanan Menuju Cahaya, kayaknya kalo nulis drama atau romance bakalan sedih ceritanya dan ternyata ngga jauh2 tuh.. Hehe.. Because sometimes sad ending does make a story felt more real.. Life ain’t a fairy tale right?

Lanjutkan membaca “[Un]affair By Yudhi Herwibowo, review Annisa Anggiana di My Book Reviews Corner”

REVIEW Untung Suropati, oleh Luckty Giyan Sukarno

Dan kelak akan lahir
Satu manusia yang dipilih
Yang mengawali kehidupannya sebagai budak hina
Namun, kemudian menjadi raja
Yang dikenang sepanjang waktu (hlm. xxiii)

Kisah yang terdiri dari tiga bab ini; Batavia, Kartasura dan Pasuruan berisi riwayat Untung Surapati sejak bayi hingga liang kubur. Jujur, sebelum membaca buku ini, saya kurang begitu familiar dengan perjuangan seorang Untung Surapati dalam memperjuangkan tanah air tercinta ini. Ternyata perjuangan beliau tidak kalah semangat. Sosok Untung Surapati ini mengingatkan tentang perjuangan Pangeran Diponegoro yang lebih kita kenal. Dia juga ditakuti para penjajah:

Barangsiapa yang bisa menangkapnya, apabila ia orang biasa, akan diberi gelar mantra, dan apabila ia berpangkat mantra, akan diberi hadiah empat desa yang subur, berikut nama yang harum. (hlm. 507)

….. dan perang adalah sebuah jalan! (hlm. 544)

Lanjutkan membaca “REVIEW Untung Suropati, oleh Luckty Giyan Sukarno”

[un]affair, review Sulis di Kubikel Romance

ImageCinta memang tak mengenal tempat dan waktu untuk berlabuh, dia datang sesuka hatinya kepada siapa pun itu. Di sebuah perlintasan kereta api, Bajja menemukan tambatan hatinya, seorang gadis yang berwajah sendu. Bajja begitu tertarik padanya tapi tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencari tahu lebih, dia melihat gadis itu hanya sepintas tanpa tahu identitasnya. Keberuntungan datang pada Bajja, suatu hari gadis itu datang ke tempat kerja Bajja dengan tujuan ingin membuat sebuah buku dari hasil tulisannya. Bajja tidak membuang kesempatan itu, langsung menyanggupi dan bertanya siapa namanya, Arra. Bajja ingin sekali tahu apa yang ditulis oleh Arra namun takut akan mengganggu privasinya, tapi bagaimana pun Bajja harus tetap membacanya selain dia bertugas mencetak dan ‘merapikan’. Kenyataan pahit di dapat, buku itu dibuat untuk kekasih Arra.

“Mungkin terasa berlebihan. Aku sadar, saat itu atau pun sekarang, aku terlalu terbawa perasaan. Semu seakan begitu mudah menggiringku. Hanya sesuatu yang kecil saja, dapat melemparku dalam frame-frame lain yang tak kupahami.”

Bajja kecewa, tapi dia tetap menerima Arra ketika gadis itu datang ke rumahnya, duduk di sofa usang dan merenungkan kehidupannya yang tampak dari luar banyak masalah. Bajja hanya bisa memandangnya tanpa bertanya apa yang terjadi. Dia menyediakan tempat untuk Arra, hatinya, rumahnya, sofanya. Kemudian Arra menghilang tanpa kabar, datang kembali, menghilang tanpa kabar lagi, dan terakhir yang sangat membuat Bajja terluka adalah ketika ada undangan pernikahan untuknya dari Arra. Sejak itu, Bajja ingin melupakan Arra, gadis sendu yang telah membuat hatinya kacau. Bajja belajar move on ketika mantan pacarnya datang lagi, Canta. Tapi, rasa yang dulu perneh mereka rasakan kini berubah, bagaimana pun usaha Bajja untuk melupakan Arra tidak pernah berhasil.

Pertama kali baca bukunya mas Yudhi, padahal udah beberapa kali ketemu, ihik, jadi malu. Mungkin sudah banyak yang tahu kalau mas Yudhi ini lebih familier dengan buku-buku bertemakan sejarah atau komedi, dan itu bukan cangkir teh saya, jadi maklum dong kalau saya baca buku romance pertama yang dia tulis #ngeles . Karena belum pernah baca bukunya yang lain, saya belum terbiasa dengan gaya penulisannya. Di buku ini deskripsinya bagus, luas, menggunakan bahasa baku namun tidak kaku. Bakat menulis cerita humor juga dia tuangkan di buku ini, contohnya adalah beli nisan satu gratis satu dan ketika Bajja ketemu Wara, ehm pasti deh langsung bikin senyum-senyum., Bajja jadi ketauan kalau dia punya selera humor. Berbeda kalau ketemu Arra, dia akan menjadi mellow, nggak banyak bicara, cenderung malu. Kalau ketemu Canta, dia bisa menjadi seorang cowok penggombal. Untuk karakter Arra, dia tidak banyak dibicarakan, sangat misterius, yang saya tahu tentang dia adalah pacarnya sering berbuat kasar padanya, seorang penyendiri dan pendiam. Selain kedua karakter utama itu, karakter lainnya tidak dijelaskan secara detail oleh penulis, penulis lebih memusatkan atau mendiskripsikan suasana. Selain karakter tokoh yangntidak dijelaskan dengan detail, settinggnya pun juga, kota sendu, kota yang sering kedatangan hujan.

Minim typo, saya suka covernya, dari ketiga pilihan yang ada di sini saya setuju dengan pengambilan cover sofa ini, sofa adalah saksi kisah cinta Bajja dan Arra, jadi pas. Sayangnya, saya agak terganggu dengan penempatan sepatu merah dan majalah, lebih enak kalau hanya sofa saja, merusak pemandangan. Kemudian saya juga agak terganggu dengan seringnya tanda “!” di akhir kalimat (tanda seru dipake sesudah ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidak percayaan, atau rasa emosi yang kuat,sumber) mungkin penulis bermaksut menegaskan, tapi ketika membacanya itu malah membuat saya terganggu. Kemudian, saya tidak terlalu suka dengan endingnya, kasihan Bajja, .

Bagian yang paling mengharukan menurut saya adalah ketika Arra menyobek-nyobek buku yang sudah dibuat Bajja, kemudian Bajja memperbaikinya lagi, mencoba kembali seperti semula. Bajja kebaikan deh sama Arra.

“Aku tahu ini tak salah. Aku hanya seorang manusia diantara bentangan perasaan. Terlalu kecil. Terlalu lemah. Jadi bagaimana bisa aku memilih, bila hati yang kemudian memutuskan? Bagaimana pula aku mengalah, bila otakku yang tak mau menuruti? Toh, untuk saat ini, aku kembali membela diri, aku hanya berpikir tentang kehadirannya di dekatku. Tak lebih dari itu.”

Buat yang ingin tahu gimana romantisnya mas Yudhi, baca deh buku romance pertamanya ini

3 sayap untuk wajah sendu di kota sendu

http://kubikelromance.blogspot.com/2012/10/unaffair.html

Perjalanan Menuju Cahaya, review Annisa Anggiana di My Book Review Corner

Image

Penerbit : Sheila

Tebal : 200 Halaman

“Di sebuah perjalanan, kau akan menemukan apa saja, Duara. Sebuah kisah yang aneh, seorang sahabat yang baik, dan kalau sudah cukup besar nanti, sebuah cinta yang dalam..”

Baca buku Perjalanan Menuju Cahaya dan [Un]affair nya Yudhi Herwibowo sungguh membuat saya kesengsem sama genre drama & romance karya beliau. Walaupun sebenarnya Perjalanan Menuju Cahaya ini lebih ke arah Magic Realism, satu lagi genre favorit saya selain Dystopia.

Kalo yang belum terlalu familiar dengan genre Magic Realism, salah satu contoh visualisasinya (dalam film) yang paling fenomenal adalah Big Fish. Karena itulah buku2 bergenre magic realism sangat mudah tergelincir ke prasangka plagiarisme film Big Fish. Padalah memang begitulah magic realism, kayak berjalan di sekumpulan taman penuh dongeng. Dan film Big Fish memang sangat menginspirasi. Dan terdapat perbedaan maha besar antara “terinspirasi oleh” dan plagiat. Karena itu saya angkat topi buat pengarang yang dalam pengantarnya menguraikan bahwa salah satu inspirasi buku ini adalah film Big Fish.

Cerita dibuka dengan dipecatnya seorang pemuda dari kantor tempatnya bekerja, Duara namanya. Duara yang sedang merasa sangat kecewa karena peristiwa tersebut tak lama kemudian menerima telepon bahwa kakeknya, yang sering ia panggil Opa Mora telah meninggal dunia di kampung halamannya di Ende, Maumere.

Duara tidaj berfikir panjang untuk segera pulang kampung ke Ende, walaupun harus meninggalkan kekasihnya Shi, di Jakarta. Apa yang Duara ingat tentang Opa Mora?. Opa Mora adalah seorang pendongeng yang hebat dan Duara menyimpan kisah2 itu dalam hatinya.

Di Ende Duara bertemu dengan Ayahnya. Namun karena urusan pekerjaan Ayah Duara harus segera pulang. Momen baru saja kehilangan pekerjaan dimanfaatkan Duara untuk menghabiskan waktu sejenak.

Dari hasil pembicaraan dengan beberapa kerabat, Duara menyimpulkan jika mereka menganggap semua dongeng Opa Mora hanyalah kebohongan belaka. Duara menemukan pertentangan di hatinya. Apalagi setelah beberapa hari setelah kematian Opa Mora datang sebuah surat yang diantar oleh seorang utusan. Utusan tersebut menyebutkan bahwa surat itu dikirimkan oleh seorang Tiku terakhir.

Pada akhirnya Duara memutuskan untuk mencari orang yang mengirimkan surat tersebut, sambil melakukan napak tilas perjalanan penuh dongeng Opa Mora. Dan seseorang tidak akan pernah tau apa yang akan ia alami ketika ia memulai sebuah perjalanan. Akankah Duara menemukan jawaban? Persahabatan? Atau… cinta yang mendalam?

Akhh.. Walau endingnya bikin saya gigit jari namun saya tetap mengacungkan dua jempol untuk cerita ini. Magic Realism Indonesia pertama yang saya sangat nikmati kisah per kisahnya.

“Kau tahu, apa yang sebenarnya membuatmu menjadi orang yang begitu berarti, Duara? Jawabannya begitu sederhana : saat seseorang begitu mengharapkan dirimu. Itu saja.”

Perayaan di Kaki Borobudur, catatan kecil tentang Borobudur Writers and Cultural Festival 2012

ImageIni seperti di luar bayangan saya.
Saat pertama kali menerima telefon dari Imam Muhtarom untuk membicarakan Sriwijaya di Borobudur Writers and Cultural Festival 2012 (BWCF 2012)dengan tema Musyawarah Agung Penulis penulis Cerita Silat dan Sejarah Nusantara, saya masih merasa tak percaya. Novel yang sudah dirilis 4 tahun lalu itu, sebenarnya nyaris lenyap dari muka bumi. Bekasnya seperti samar-samar saja. Namun buku selalu punya nasibnya sendiri! Jadi saya mengiyakan saja tawaran itu. Awalnya saya kira ini festival biasa. Namun saat beberapa minggu kemudian, saat saya menerima proposalnya, ternyata dugaan saya salah.
Selain pembicara-pembicara senior, ada juga 150 peserta aktif yang diundang. Seluruhnya penulis-penulis ampuh di nusantara. Apalagi sebulan sebelum acara, saya sempat bertemu dengan Mas Seno Joko Suyono dan Imam Muhtarom, 2 konseptor acara selain Mbak Dorothea Rosa Herliani dan Wicaksono Adi, di Omah Sinten, Solo. Dari sini saya mulai merasakan keseriusan yang tak biasa!
Tiba-tiba saya merasa tak enak. Saya lihat lagi nama-nama seluruh pembicara, semuanya merupakan pembicara senior. Saya tiba-tiba merasa kecil sendiri. Saya bahkan sempat berpikir untuk menjadi peserta aktif saja. Tapi beberapa teman saya yang saya curhati malah bicara, “Siapa lagi yang sudah menulis Sriwijaya selain saya?”
Teman saya itu salah. Sebenarnya ada beberapa penulis lagi yang menulis tentang Sriwijaya. Tapi buku-buku itu memang terbit belakangan. Lanjutkan membaca “Perayaan di Kaki Borobudur, catatan kecil tentang Borobudur Writers and Cultural Festival 2012”

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.

Atas ↑