Sebenarnya sejak November 2014, saya merasa kurang sekali membaca dan menonton film. Padahal 2 hal itu, saya yakin sekali, adalah bekal mutlaj bagi penulis untuk sumber inspirasinya. Ini mungkin karena saya menulis cersil saya yang cukup tebal, Senja Merah Sriwijaya.
Namun, akhir-akhir ini saya pun nampaknya sedang tak merasa bersemangat menulis. Maka ada baiknya saya saya menulis buku-buku yang saya baca saja akhir-akhir ini, dengan harapan semangat membaca muncul lagi…
1. Gabriela, Cengkih dan Kayu Manis – Jorge Amado (Serambi)
Membaca novel ini mungkin karena paksaan diskusi klub buku pawon. Agak terengah-engah di awal. Sempat berhenti di halaman 30, lalu berhenti lagi di halaman 50. Ini mungkin karena JA baru mencoba mengenalkan tokoh-tokohnya. Gabriela sendiri baru muncul di halaman 120an. Dan sepertinya sejak itulah novel ini jadi enak dibaca. Karekter Gabriela sangat menyenangkan. Novel ini lucu, walau jangan berharap akan tertawa keras-keras. Novel ini dikemas, menurut saya, tanpa tokoh utama yang menonjol. Mungkin memang Najib dan Gabriela. Tapi porsi Falcao, dan Keluarga Basnos juga cukup banyak. Ceritanya mengalir; bagi yang suka bergosip mungkin buku ini bisa saya rekomendasikan 🙂
2. Rumah Kopi Singa Tertawa – Yusi Avianto Pareanom (Banana)
Buku ni sudah lama dibeli, tapi lama juga menganggur. Banyak kawan-kawan yang menyukai buku ini. Mungkin itu alasan saya ikut membacanya. Buku ini cukup menrik. Sebelumnya saya sudah mengenal nama YAP, karena membaca cerpen-cerpennya yang kerap hadir di koran. Satu cerita yang paling unik saya pikir Penyakit-penyakit yang Mengundang Tawa. Saya ingat cerpen itu dimuat di Koran Tempo. Caranya menulis selalu masih menyenangkan. Ringan dan kadang-kadang menyelipkan joke-joke lucu yang mengejutkan. Ia juga mencoba membuat beberapa cerpen, yang saya sebut, sebagai rima cerpen. Ini dilihat ada cerpen Sebelum Peluncuran. Menyenangkan sekali membaca buku ini.
3. Terbunuhnya Seorang Profesor Posmo – Arthur Asa Berger – (Marjin Kiri)
Ini salah stau buku yang saya beli bulan ini, langsung dari penerbitnya. Sebenarnya sudah mencari sejak lama, tapi tak pernah ketemu. Membaca ini karena keingintahuan saya tentang cerita dalam gaya posmo. Tentu secara umum, novel ini biasa-biasa saja. Kalau pun tak ada pengantar petikan tentang postmoderen dari tokoh-tokohnya, novel ini akan menjadi novel detektif baisa. Sekadar ingin membuka mata membaca novel dengan aura posmo. Saya pikir ini akan banyak menginspirasi, entah dalam hal bentuk atau pun teknik. Tapi kalau soal cerita, seperti yang saya bilang di awal, tentu banyak novel yang lebih baik dari ini.
4. Baju Bulan – Joko Pinurbo (Gramedia)
Buku tpis yang sudah lama saya beli. Sampai saat saat memmbacanya sekarang, plastiknya belum saya buka. Mungkin JP adalah penyair yang buku puisinya paling banyak saya beli. Mungkin karena ringan dan sering kali, lucu. Efek membaca puisi di koran, puisi-puisi kelam banyak mendominasi, dan JP adalah salah satu jalan untuk menemukan lagi kegembiraan saat membaca puisi, seperti saat saya masih anak-anak. Satu puisinya; Uang berilah aku rumah yang murah saja/ yang cukup nyaman buat berteduh senja-senjaku/ yang jendelanya hijau menganga seperti jendela mataku// sabar ya aku harus menabung dulu/ menabung laparmu, menabung mimpimu// mungkin juga harus menguras cadangan sakitmu// uang berilah aku ranjang yang lugu saja/ yang cukup hangat buat merawat encok-encokku/yang kakinya lentur dan liat seperti kaki masa keclku (Kepada Uang, hal. 54). Ini contoh puisi yang membuat tersenyum, tapi semakin merenunginya, saya merasa sangat pahit.
Komentar Terbaru