Akhirnya bertepatan dengan hari pertama puasa, selesai juga naskah ini. Fuiiih, leganyaaaa… 😀
Saat memutuskan untuk menulis novel tentang perempuan korban dari jugun ianfu, rasanya saya memutuskan untuk melakukan sesuatu langkah berani.
Saya telah menulis lebih dari 27 buku sebelumnya, dan sebagian besar adalah novel yang selalu mengambil tokoh lelaki dalam sudut penceritaan saya. Memang sekali-dua kali saya pernah mengambil tokoh perempuan, namun hanya sebatas di dalam cerpen ataupun novelet. Tapi tidak di sebuah novel. Rasanya itu sama sekali tak terpikirkan. Terlebih bila itu tentang novel dimana narasi perempuan sangat dieksplorasi.
Tapi entah mengapa, selepas membaca Momoye, Mereka Memanggilku, saya tak lagi bisa menolak untuk tak menulis kisah tentang para perempuan korban jugun ianfu. Kisah perjalanan ibu Mardiyem di buku itu benar-benar menggugah saya, dan terus-terusan membuat saya merasa sedih.
Pernah saya tanyakan pada seorang teman tentang novel-novel lama yang bercerita tentang jugun ianfu. Tapi ternyata itu tak banyak. Ini membuat saya semakin tergerak untuk menulisnya. Dalam hati saya terus bertanya, bagaimana bisa sebuah kisah sepahit ini tak menarik minat penulis?
Maka beberapa bulan saya tulis buku ini: Sakura Telawang.
Saya cukup menikmati membuatnya. Setelah Pandaya Sriwijaya, yang kaya imajinasi, dan Untung Surapati, yang kaya data, saya ingin membuat sebuah buku sejarah lagi yang memposisikan data secara halus. Maka itulah saya mencoba tak memakai 1 footnote pun. Walau ada narasi sejarah, namun jumlahnya tak banyak, dan itupun saya pakai sekedar sebagai gambaran latar kapan kisah ini terjadi.
Untuk meyakinkah saya, saya kemudian meminta beberapa sahabat perempuan saya untuk membacanya terlebih dahulu. Saya ingin apakah naras laki-laki saya sudah cukup bisa mewakili narasi tokoh perempuan di buku ini. Sungguh, proses seperti ini di luar kebiasaan saya.
Akhir kata semoga novel ini tidak terlalu mengecewakan. Saya sama sekali tak berminat menjadikan buku ini sebagai novel sejarah atau pun novel sastra. Hanya sekedar mengisahkan sebuah kisah pahit yang pernah terjadi di tanah ini, sebelum terus semakin usang dan terlupakan…
Komentar Terbaru