Memang sulit menerbitkan sastra. Upaya menerbitkan naskah-naskah bermutu dari seluruh dunia yang sudah dijalankan oleh Ajib Rosidi sejak puluhan tahun melalui Pustaka Jaya ternyata tak terlalu berjalan mulus. Untungnya sampai sekarang beberapa naskah itu bisa kita nikmati. Pater Pancali adalah salah satu naskah yang dipilih untuk mewakili India. Waktu itu, Bibhutibhushan Banerji sendiri sudah menulis banyak novel, namun popularitas Pater Pancali mengalahkan yang lainnya. Ini mungkin karena kisah ini sempat diangkat ke layar lebar.
Untuk diskusi Klub Buku Pawon Agustus ini, dipilihlah novel Pater Pancali karangan Bibhutibhushan Banerji, atau biasa ditulis Bibhutibhushan Bandyopadhyay (edisi Indonesia diterjemahan oleh Koesalah Soebagyo Toer). Saat pemilihan -sekitar 4 bulan yang lalu- memang tak banyak buku-buku sastra baru yang beredar. Ini sepertinya kali pertama klub buku pawon mendiskusikan novel lawas yang lumayan tebal.
Tapi kisah Pater Pancali memang sudah saya dengar sejak lama. Pustaka Jaya pernah menerbitkannya. Pater Pancali bahkan disebut-sebut sebagai Bumi Manusia-nya India.
Bibhutibhushan sendiri merupakan penulis besar di India. Ia lahir di Bengali 12 Septermber 1894, dan sampai akhir hayatnya sudah menulis puluhan novel. Salah satu novelnya, Ichhamati bahkan pernah memenangi Rabindra Puraskar tahun 1951, salah satu penghargaan sastra paling prestisius di India. Namun Pater Pancali tetaplah yang menjadi masterpiece-nya.
Kisah Pater Pancali yang Terpatah-patah
Awalnya, membaca Pater Pancali terasa sangat lambat. Novel ini cukup detail dan paragraf-paragrafnya pun gemuk-gemuk. Tapi beberapa novel lawas memang seperti itu. Jadi saya bisa memaklumi keadaan ini. Lanjutkan membaca “Membaca Pater Pancali: Kesedihan Kadang Memang Memiliki Masa Kadaluarsa”
Pagi itu, 26 Juli 2016, Kabut aka Bandung Mawardi mengirimi saya pesan singkat: Beli kompas hari ini! Penting!
Saya pun berencana membeli Kompas nanti siang, saat keluar makan. Sepanjang waktu itu, di facebook saya melihat berita acara peringatan Horison di Jakarta dari status 2 redakturnya, Joni Ariadinata dan Jamal D. Rahman. Hari ini, Horison memang tengah berulang tahun ke-50 tahun. Itu usia emas. Tapi status dari Ichwan Prasetyo, salah satu redaktur Solopos, membuat kaget. Di situ ia mengirim foto potongan koran Kompas yang memuat berita berhentinya Horison sebagai media cetak. Saya langsung tahu, apa arti kata ‘penting’ yang ditulis Kabut pagi tadi.
Entah kenapa, saya merasa sedih. Sejak bertahun-tahun lalu, saya sudah membaca Horison. Sempat juga teratur berlangganan di tahun 2009-2011. 2 tahun lebih. Selama 2 tahun itu saya membundel Horison dengan lengkap. Sayang 1 bundel terpaksa saya buang karena habis dimakan rayap. Sayangnya, selama saya berlangganan, tak ada satu cerpen pun yang bisa saya kirim.
Tahun-tahun terakhir ini, pamor Horison memang redup. Mungkin semakin banyak buku-buku cerpen yang hadir di ranah sastra. Kompas sempat sangat getol menggelontorkan kumcer-kumcer dari penulis-penulisnya. Jurnal cerpen juga terbit. Penerbit-penerbit Yogya juga getol menerbitkan cerpen. Sampai kemudian tiba saat Buletin Sastra Pawon mewawancarai Joni Ariadinata. Waktu itu Han Gagas (dan Eko Abiyasa) yang ditugaskan untuk mewawancarai. Dari situ keinginan menulis di majalah itu kembali muncul.
Cerpen pertama saya di Horison adalah Perempuan yang Terperangkap pada Sajak-sajak Lorca di muat di Horison Januari 2013. Ini cerpen yang saya buat selepas saya membaca satu buku Lorca, Romansa Kaum Gitana. Waktu itu tak banyak yang ngeh tentang sajak-sajak Lorca. Mungkin karena buku terakhir Lorca yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia sudah sejak bertahun-tahun lalu. Saya bayangkan penyair-penyair pada masa itu melahap buku keren itu, tapi tidak lagi sekarang.
Lanjutkan membaca “Horison dan Kado Perpisahan di Edisi (cetak) Pamungkas”
Komentar Terbaru