solopos fm maret 2017 - 1Karena membeli buku The Little Paris Bookshop -atau Toko Buku Kecl di Paris- karangan Nina George,  saya menulis ini. Saya membeli buku itu karena mungkin adanya 3 kata: toko buku kecil. Awalnya cuma saya upload di instagram saya, kemudian saya merasa dapat menulis lebih panjang lagi.

Baru sekarang saya merasa toko buku kecil seperti menjadi kenangan yang penting. Papa adalah pegawai negeri di Metrologi, jadi selalu berpindah-pindah. Dari Palembang – Tegal – Kupang – Samarinda – Bandung – Purwokerto. Saya mengikutinya sampai Kupang saja. Karena setelah itu saya dipindahkan di Purwokerto. Lalu saya kuliah di Solo, hingga bekerja sampai sekarang.

Di setiap kota yang pernah disinggahi saat masa kanak2 dan remaja, selalu punya cerita tentang toko buku kecil yang selalu saya datangi. Tentu dulu Gramedia belum seagresif sekarang. Hampir di kota-kota itu tak ada toko besar seperti itu.

Di Tegal, ada toko buku di depan toko Elok, salah satu toko perlengkapan rumah tangga paling lengkap kala itu. Saya lupa namanya. Saya perlu menanyakan pada mama saya karena toko Elok adalah langganannya. Nama toko itu toko buku Kartini. Saya tak tahu apakah masih ada toko itu sekarang. Tapi saya masih ingat sekali etalasenya. Saat itu toko buku itu memkai etalase bertingkat, jadi kita harus menunjuk buku yang kita inginkan, sebelum diambilkan oleh pegawai toko. Buku-buku yang lain dipajang dengan djepit di seutas tali. Saat itu saya masih SD jadi belum membeli buku, selain komik2 seperti Petruk-Gareng, atau dongeng-dongeng HC. Andersen versi komikus-komikus lokal. Seingat saya dulu harganya Rp. 200. Ingatan saya terakhir di toko itu adalah saat menemani mbakyu saya membeli buku Lupus, Cinta Olimpiade. Waktu itu sepertinya saya tak membeli apa-apa. Tapi saya melihat satu buku yang beberapa tahun kemudian saya beli, Mengarang itu Gampang karangan Arswendo Atmowiloto.

Pindah di Kupang, ada toko buku di dekat sekolah saya di SD Santo Yoseph. Namanya toko buku Semangat. Jadi sebelum kamu-kamu kerap menulis kata ‘semangat’ buat kawan-kawannmu di sosmed, toko buku sudah melakukannya belasan tahun lalu… 🙂 Saya beberapa kali ke toko itu sepulang sekolah. Saya ingat dulu ada promo di depannya, bila mereka menjual komik-komik seperti Trigan, Storm, Arad & Maya, Papyrus, Tangus & Leverdure, dll seharga Rp. 2.000. Jadi setiap punya uang lebih dari itu, saya selalu mampir membeli buku. Waktu itu uang jajan saya Rp. 500, untuk ongkos bemo (sejenis angkot khas Kupang) bolak-balik Rp. 200. Sebenarnya di toko ini, papa saya sering membelikan buku. Kadang saya dan sahabat saya kala itu, Denny Lada dan Rongky Famdale juga kerap ke situ. Ada cerita heboh sebenarnya dengan mereka, tapi tak usahlah saya ceritakan di sini… 🙂

Sekarang saya dengar toko buku Semangat sudah menjadi toko buku yang besar.

Karena nafsu membaca yang tinggi, akhirnya papa saya mengajak ke toko buku Suci, di Koenani. Itu toko buku yang sekaligus menyewakan buku. Ini toko buku yang gak terl;alu lengkap. Seingat saya saya membeli buku RPUL di situ. Buku yang hits di kalangan pelajar kala itu. Tapi di situlah saya melahap belasan judul Kho Ping Hoo. Bahkan juga Barata, dan Stefanus (?)

Selain itu ada satu lagi toko buku di area pasar Impres. Saya lupa namanya. Mama saya juga lupa. Tapi saya ingat di situ toko ada toko buku yang berbeda. Buku-bukunya bukan dari penerbit-penerbit  besar. Saya kerap membeli buku yang tak saya temukan di toko lain. Satu yang saya ingat adalah Empat Sekawan karangan penulis lokal yang saya tak ingat namanya. Tentu ini mungkin sekadar meniru-niru Lima Sekawan yang kala itu lagi top-topnya. Tapi ternyata, saya suka dengan Empat Sekawan. Sayangnya, hanya ada 2 judul seri buku itu.

Pindah di Purwokerto toko buku yang kerap saya datangi adalah Metro dan satu lagi yang ada di perempatan toserba Rita, di jalan yang mengarah ke Baturaden. Saya lupa namanya. Terakhir saya ke sana, toko buku yang sekaligus agen koran itu sudah tutup, atau pindah? Tapi di situlah saya membeli Seno Gumira Ajidarma, Sebuah Pertanyaan untuk Cinta.

Lalu tibalah saya di Solo. Dulu, toko yang paling sering saya datangi tentu saja Sekawan. Waktu itu, saya dan Antop WP -kawan saya satu kampus- secara rutin ke toko itu. Lihat-lihat atau baca-baca saja, karena memang gak punya cukup uang untuk membeli. Kenangan di toko itu adalah pegawainya yang galak dan suka menunjuk-nunjukkan tulisan: Dilarang Baca di Sini! Konon, pegawai galak itu, kabarnya masih di situ sampai sekarang…:) Oya, biasannya kami di toko itu sampai akan tutup. Tandanya, kalau di gramedia ada suara seorang perempuan yang memberi tahu, di sana lampu mendadak dimatikan saja.

Pernah juga ke toko buku Budi Laksana. Agak jauh dari kost saya sebeanarnya. Tapi saya sering ke sana. Konon, ini adalah salah satu toko buku tertua di Solo. Saya bahkan sempat menitipkan buku-buku terbitan saya di sana. Saat toko buku Budi Laksana tutup, saya sempat mengirim pesan kepada pemiliknya untuk membeli buku-buku yang tersisa. Maka di suatu hari kami berjanjian untuk bertemu. Saya, Mbak Indah dan Mbak Puitri ke sana. Walau masih ada beberapa buku bagus, tapi kami terlambat beberapa har. Seorang penjual buku dari Jogja sudah memborong buku-buku sastra lebih dulu. Tapi saya tetap memdapatkan beberapa buku keren di sana, salah satunya kumpulan puisi dwi bahasa milik Dorothea Rosa Herliani.

Sebenarnya ada juga toko buku UNS, yang ada di tempat yang sekarang menjadi ruang informasi UMPTN. Tapi saya datang tak lama setelah ia akan bangkrut. Dulu mereka mengobral buku-bukubnya dengan harga murah. Tapi masa itu, saya belum memiliki uang, hanya bisa ngiler tanpa bisa membelinya. Satu yang saya ingat, satu ruangan ada di lantai bawah, begitu melangkah ke situ, nyamuk-nyamuk langsung menyerang dengan ganasnya.

Di periode yang lebih baru, saya juga kerap ke toko buku Melodi. Tapi koleksi buku-bukunya tak banyak. Saya lebih memilih ke lapak-lapak buku bekas di Gladak. Dulu mendapatkan buku keren cukup muidah di sini. Tapi sekarang suasananya berbeda. Banyak yang menjual bajakan. Sehingga greget mencair buku bekas pelan-pelan hilang.

Ada satu lagi toko buku yang kera di datangi: Bumi Manusia dan Cafe Buku Greenhouse. Tapi nasib toko-toko buku ini tak bertahan lama. Di Greenhouse, Buletin Sastra Pawon sempat aktif mengadakan kegiatan di sini. Di sini juga kami berkenalana dengan Fanny Chotimah, yang mengurus acara-acara di sana. Kelak ia menjadi salah satu anggota Pawon paling fanatik… 😀

Saat di Solo, saya kerap juga ke Jogja. Toko-toko buku berbeda dengan searang. Shopping amsih asri, asyik sekali nongkrong di stu sambil minum es dawet. Di situ masih sering mendapatkan buku-buku ajaib. Tapi setelah di pindah, kesenangan berbelanja buku di Shopping seketika langsung lenyap.

Satu toko buku lagi yang kerap saya datangi adalah Sari Ilmu 2. Waktu itu saya masih memeliki persewaan buku, jadi dan seerti persewaan buku lainnya, Sari Ilmu adalah tempat yang harus didatangi. Kawan-kawan sekarang mungkin tak banyak yang tahu kalau Sari Ilmu juga menjual buku yang didiscount, selayaknya Social Agency dan Togamas. Enaknya lagi di situ adalah kita bisa memesan lebih dulu, dan kadang mendapat disc tak hanya 20%.