Tulisan ini sebenarnya sekadar jawaban ringan dari pertanyaan seorang kawan: Apa saja film-film tentang puisi dan penyair? Jawaban itu, awalnya akan saya jadikan materi di  #bincangsastra Solopos FM April ini. Namun setelah saya pikir-pikir, rasanya tak ada salahnya saya tulis tentang ini untuk blog saya.

Bila saya search di IMDB mengenai film-film tentang puisi dan penyair, banyak sekali muncul daftarnya. Ini membuat saya ragu, karena ternyata hanya sedikit saja yang sudah saya tonton. Sialnya, saat saya mencoba mencari film-film itu, entah dengan cara donlot biasa maupun via torrents, sangat sulit melacak film-film itu.

Dari yang sedikit itu, saya pikir tak ada salahnya saya share.

Dead Poet Society (Peter Weir, 1989)

Saya gak ingat tahun berapa menonton film ini. Yang saya ingat beberapa tahun sebelumnya saya membaca laporan kompletnya di majalah Hai. Sejak itu saya berpikir kalau menemukan filmnya di rental VCD, pasti saya akan menyewanya.

Tapi sebenanrnya saya tak ingin memasukkan film ini dalam list ini, karena terlalu umum dan hampir semua orang sudah menontonnya. Tapi entah kenapa, rasanya tak adil bila saya tak memasukkannya. Ini salah satu film terbaik Robin Williams, yang membuatnya mendapatkan Oscar.

Ceritanya  sendiri tentang seoang guru Mr. Keating yang berusaha mengajarkan puisi sastra dengan cara yang unik di sebuah Universitas ternama khusus anak laki-laki.

Mungkin -menurut saya- film ini juga yang pada akhirnya memelopori gerakan-gerakan pengajaran sastra yang tidak kaku di Ameriksa, bahkan di seluruh dunia.

 

Poetry (Lee Chang-dong, 2010)

Poetry adalah film Korea yang selalu nyempil dalam daftar-daftar film tentang puisi dan penyair, entah siapa pun dan dari mana pun yang membuatnya.

Film ini dibuka dengan ditemukannya tubuh seorang gadis yang tewas mengambang di sungai. Semua membicarakannya, termasuk Yang Mi-ja (diperankan Yun Jung-hee) seorang nenek tua yang tinggal bersama cucunya di sebuah desa kecil. Kelak Yang Mi-jaa mengetahui dari buku harian gadis itu, ia memilih bunuh diri karena terus dibully oleh kawan-kawannya, dan salah satunya adalah cucunya.

DI tengah kelupaan-kelupaan pada hal-hal kecil, Yang Mi-ja bekerja sebagai pembantu yang merawat seorang kakek yang stroke. Di saat seperti itulah, ia memutuskan untuk bergabung dalam kelas menulis puisi. Setiap hari ia mencoba menulis puisi, namun begitu sulit dirasakannya. Padahal ia sudah mengikuti kata-kata mentornya dengan sungguh-sungguh, Ia sudah mendengarkan suara dedaunan yang ditiup angin, bahkan datang di acara pembacaan puisi. Namun tetap saja itu tak berasil.  Di sisi lain, ia juga mulai mencari tahu tentang sosok gadis muda yang  bunuh diri di sungai  itu. Ia bahkan mencuri fotonya.

Buat saya, film Poetry ini adalah film yang membentuk puisinya sendiri: hening dan begitu lambat. Setiap scene adalah bait-bait puisi, dan perpindahan scne adalah jeda-jeda puisi. Dan di bagian endingnya adalah ang terbaik.

Pada akhirnya Yang Mi-ja dapat menulis sebuah puisi. Saya petik puisi pamungkas itu. Tapi tentu saja terjemahan inisekadar saya ambil dari subtitlenya yang diterjemahkan oleh xtalplanet@yahoo.com

 

Agnes Song

Bagaimana keadaanmu?
Seperti apa rasa sepimu?
Apakah masih merah ketika matahari terbenam?
Apakah burung-burung masih bernyanyi ketika kembali ke hutan?
Apakah kau menerima surat yang tak berani kukirimkan?
Apakah aku bisa menyampaikan…,
pengakuan yang tak berani kulakukan.
Apakah waktu berlalu dan mawar berguguran?
Sekarang saatnya mengucapkan selamat tinggal.
Seperti angin yang bertiup, kemudian pergi.
Seperti bayangan.
Untuk janji yang tidak pernah datang,
untuk cinta yang dikunci hingga akhir.

Untuk rerumputan yang menciumi pergelangan kakiku.
Dan untuk langkah kecil yang mengikuti aku.
Ini saatnya mengucapkan selamat tinggal.
Kegelapan telah tiba.
Apakah lilin dinyalakan lagi?
Di sini aku berdoa…
tak seorang pun akan menangis…
dan aku ingin dirimu tahu…
betapa aku mencintaimu.
Menunggu lama di tengah siang musim panas.
Sebuah jalan lama membentuk wajah ayahku.
Bahkan bunga liar kesepian malu-malu berpaling.
Begitu dalam cintaku.
Bagaimana hatiku berdesir dikala mendengar lagu samar darimu.
Aku mendoakanmu.
Sebelum menyeberangi sungai hitam.
Dengan napas terakhir jiwaku.
Aku mulai bermimpi…
di suatu pagi yang cerah…
aku terjaga lagi, dibutakan oleh cahaya…
dan bertemu denganmu…
berdiri di sisiku.

 

Paterson (Jim Jarmusch, 2016)

Film ini baru saya nonton dalam minggu ini. Ceritanya sederhana. Settingnya dalam seminggu saja.

Di sini, Paterson bisa berarti: nama tokoh utamanya, atau nama kota di mana setting film ini berada, atau juga judul buku kumpulan puisi William Carlos William, yang menginspirasi Jim Jarmusch membuat film ini.

Paterson (diperankan Adam Driver) seorang sopir bus yang punya kesukaan menulis puisi di buku catatannya.

Dengan gaya pengulangan dari hari ke hari, film ini dirangkai sejak pagi buta saat Paterson bangun pagi. Rutinitasnya langsung tertebak di hari kedua. Dari saat bangun tidur, ia bangun saat istrinya masih terlelap. Lalu memasang jam tangannya dan mulai mempersiapkan diri. Makan cereal dan berangkat dalam jalan yang sama seperti kemarin. Tak lupa ia membetulkan kotak surat yang selalu miring. Nanti pulangnya ia akan menyapa istrinya yang sibuk di rumah seharian lalu makan malam bersama dan mengantar jalan-jalan Marvin, si anjing buldog yang karakternya nampak menyebalkan. Di pamungkas hari, ia akan mampir ke salah satu bar milik kenalannya. Ngobrol sebentar dan menghabiskan segelas besar bir.

Namun dari pengulangan-pengulangan itulah, saya merasa sisi artistik film ini jadi begitu terasa.

Di waktu-waktu senggang, Paterson selalu menulis puisi. Istrinya yang sebenarnya merupakan perempuan yang punya banyak mimpi, sealalu merayunya agar ia mau mencopy buiku catatannya dan mengirimkannya pada penerbit. Tapi Paterson tak pernah mau. Ia hanya berjanji akhir pekan nanti akan melakukannya. Saya merasa karakter Paterson merupakan sosok laki-laki paling pengertian di dunia. Ia selalu memuji semua keinginan istrinya, bertepuk tangan ketika mendengar nyanyian istrinya yang sebenarnya biasa-biasa saja. Bahkan ia juga akan lihai berakting ketika menikmati pie hasil coba-coba istrinya: pie rasa keju campur taoge.

Dari jalinan kisah yang nampak seperti biasa-biasa saja ini, tanpa diduga muncul karakter antagonis yang mengejutkan,d an memorakporandakan akhir pekan Paterson. Tentu gak saya sebutkan di sini, karena nanti jadi spoiler.

Namun satu inti yang saya ambil adalah: bahkan walau bagi seseorang yang menulis puiisi-puisi untuk dirinya sendiri, ia akan tetap merasa sedih saat buku catatan di mana puisi-puisinya berada itu hilang.

Oya, untuk puisi-puisi di film ini ternyata memakai puisi-puisi dari Ron Padgett.  Ia adalah kakak angkatan Jim Jarmusch, yang ternyata mempunyai seorang dosen English Literature and Modern Poetry yang sama, Kenneth Koch, yang begitu menginspirasi.

Satu puisinya saya kutip di sini:

Another One
by Ron Padgett 

 

When you’re a child
you learn
there are three dimensions:
height, width, and depth.
Like a shoebox.
Then later you hear
there’s a fourth dimension:
time.
Hmm.
Then some say
there can be five, six, seven…
I knock off work,
have a beer
at the bar.
I look down at the glass
and feel glad.

 

Bright Star (Jane Campion, 2009)

Sudah pernah saya tulis diposting saya sebelumnya: Film-film tentang Penulis Favorit Saya.

Ini linknya: https://yudhiherwibowo.wordpress.com/2016/06/09/film-film-tentang-penulis-dunia-favorit-saya/

Walau judulnya indah, tapi ini adalah film yang muram. Entah kenapa saya begitu suka dengan film ini. Ini kisah tentang penyair besar John Keats, yang puisinya beberapa kali pernah saya baca. Walau belum ada buku puisinya secara khusus diterjemahkan, tapi satu-dua puisinya banyak termuat dalam antologi bersama.

Film ini fokus pada bulan-bulan sebelum John Keats meninggal. Adalah Fanny Brawne (diperankan Abbie Cornish) yang jatuh cinta pada John Keats (diperankan Ben Whishaw), setelah ia mendapatkan buku kumpulan puisi, Endymion. Tapi cerita kemudian tak bergulir sesederhana itu. Awalnya John tak tertarik dengan Fanny. Bagaimana pun keduanya memiliki sifat yang berbeda. Fanny adalah seorang fashionita sedangkan John tak menyukai dunia glamour itu.

Namun pada akhirnya cinta bersemi. Tapi keadaan tak semulus itu. Kondisi keduanya yang tak memiliki cukup uang, ditambah kedua keluarga mereka sepertinya ada dalam posisi tak ingin keduanya bersatu. Tapi di sini kekuatan cinta keduanya diuji.

Saya petikkan satu puisi John, Bright Star, yang sempat pula ditulisnya di salah satu surat untuk Fanny.

Bright star! would I were steadfast as thou art—/ Not in lone splendour hung aloft the night / And watching, with eternal lids apart, / Like nature’s patient, sleepless Eremite, / The moving waters at their priestlike task / Of pure ablution round earth’s human shores, / Or gazing on the new soft-fallen mask / Of snow upon the mountains and the moors— / No—yet still steadfast, still unchangeable, / Pillowed upon my fair love’s ripening breast, / To feel for ever its soft swell and fall, / Awake for ever in a sweet unrest, / Still, still to hear her tender-taken breath, / And so live ever—or else swoon to death.

 

Total Eclipse (Agnieszka Holland ,1995)

Setahun lalu, saya cerpen saya Pelarian dimuat di Majalah Basis. Cerpen itu berkisah tentang penyair ternama Prancis Arthuir Rimbaud kala ia melarikan diri dari tangsi militer di Salatiga. Saat itu saya belum menonton film ini. Namun setelah menonton, saya semakin yakin dengan karakter Arthur Rimbaud  dalam imajinasi saya di cerpen Pelarian itu.

Di film Total Eclipse, karakter Arthur Rimbaud diperankan dengan baik oleh Leonardo de Caprio. Kalau kamu ingin melihat Leo di masa mudanya, tontolah film ini.

Film ini fokus pada hubungan Arthur Rimbaud dengan Paul Verlaine (diperankan David Thewlis).  Ia datang sebagai penyair baru dengan puisi-puisi –yang menurut Paul Verlaine- sangat visioner dan melampaui jamannya. Hubungan ini tak sekadar hubungan selayaknya kawan baik, namun hingga menjadi hubungan percintaan yang menggebu-gebu.

Sejengkal demi sejengkal kehidupan Paul Verlaine yang awalnya begitu harmonis hidup dengan istrinya yang kaya raya, mulai berantakan dan hancur. Ia ditinggalkan istrinya dan kembali menjadi pria kere yang bahkan kesulitan untuk makan. Namun ia pun tak bisa mendapatkan Arthur Rimbaud.  Bocah itu datang dan pergi bagai bayang-bayang. Ia bahkan tak lagi bisa direngkuh, saat ia mulai memutuskan untuk berkeliling dunia mencari matahari.

Namun tetap saja, walau sampai di ujung ajalnya, Paul Verlaine tetap menyakini kalau Arthur Rimbaud adalah penyair terbesar di jamannya.

Oya tentang puisi-puisi Arthur Rimbaud, sengaja tak saya posting di sini. Bacalah saja di cerpen saya. Di situ banyak petikan-petikannya… 🙂

 

 The Golden Era (Am Hui, 2014)

Yang ini juga sudah pernah saya tulis diposting saya sebelumnya: Film-film tentang Penulis Favorit Saya. Ini linknya: https://yudhiherwibowo.wordpress.com/2016/06/09/film-film-tentang-penulis-dunia-favorit-saya/

Ini salah satu film tentang penulis yang paling saya sukai. Sebenarnya mungkin kurang pas kalau saya masukkan di sini. Karena Xiao Hong memang lebih dikenal sebagai seorag penulis novel. Tapi sebenarnya ia juga menulis esai dan puisi. Beberapa puisinya cukup terkenal, seperti puisi seri berjudul: Pasir  dan –tentu saja- The Golden Era yang sempat dikutip dalam film ini.

Kisah tentang Xiao Hong, penulis perempuan paling ternama di China. Ini ungkapan yang dilontarkan Lu Xun, penulis besar China yang juga menulis buku Catatan Harian Seorang Gila. Lu Xun bahkan mengatakan ini, jauh sebelum Xiao Hong terkenal.

Dari awal saja, film ini sudah terasa kemuramannya. Xiao Hong (diperankan Wai Tang) menjadi anak yang tak dicintai ayahnya. Maka sejak muda ia sudah memberontak, terutama pada upaya perjodohan keluarga. Xiao Hong memilih kawin lari. Di masa itu seorang perempuan yang kawin lari akan begitu dikucilkan. Tak hanya dirinya, tapi juga keluarganya, bahkan keluarga laki-laki selanjutnya. Jadi hanya laki-laki yang berani menganggung itu saja yang berani mendekatinya. Tapi ternyata tak ada laki-laki seperti itu. Laki-laki terakhir meninggalkan Xiao Hong dalam kondisi hamil. Ini membuatnya tak bisa meninggalkan hotel itu karena berhutang terlalu banyak. Untunglah kemudian ia mengirim surat pada redaksi majalah sastra di kota itu. Di situlah ia kemudian bertemu dengan Xiao Jun (diperankan Shiaofeng Feng), yang juga seorang penulis.

Pada akhirnya keduanya menjadi pasangan penulis yang sering dibicarakan di China. Tapi cerita tak hanya di situ. Film ini hampir 3 jam, mengelupas semua kisah Xiao Hong tiap jedanya. Terutama bagaimana ia dan suaminya harus bersembunyi karena konflik politik sidambung dengan serbuan tentara Jepang ke China.

Saya pikir film ini bukan film yang mudah. Alurnya maju dan mundur begitu cepat. Terlewat 1 menit saja, ada bagian yang hilang. Namun yang paling saya ingat adalah bagian endingnya. Sepenuhnya kesedihan. Ya, walau Xiao Hong hanya hidup sampai umur 31 tahun saja, kisahnya begitu berliku, seakan ia hidup ratusan tahun.

Sayang, setelah mencari-cari puisi The Golden Era yang ditulis Xiao Hong dalam suasana yang menyedihkan, saya tak berhasil-berhasil juga menemukannya. Adakah kawan yang bisa membantu?

 

 Howl (Rob Epstein & Jeffrey Friedman, 2010)

Film ini terlambat ditonton, walau sudah rilis sejak 2010. Mungkin karena tokoh yang diangkat kurang populer di telinga saya.

Kisah mengenai penyair ternama Amerika, Allen Ginsberg (diperankan James Franco). Film ini menjadi terkenal bukan sekadar mengangkat kisah hidup penyair legendaris itu, tapi juga mengedepankan teknik cinemaografi yang aduhai.